3
oktober mulai mampir
di ruangan guru, di balik papan tulis, ia intip dari pintu angin. warna langit seakan gelisah, ini bulan penentuan, sejarah yang akan berulang
di luar ulat menjadi rama-rama, hinggap di kuntum bunga. seakan mendekatkan waktu pada pertemuan
di stasiun lenguh dada perempuan berdesir di antara rel, dan gerbong-gerbong yang sesak. sobek tiket adalah kado yang membikin kaget. "bukankah bulan ini perlu perayaan, kalau bukan kepada usia"
hesti yang puisi tak sendiri, seorang kanak-kanak memengang balon. ia pandang jauh ke ujung teluk juga pantai, di mana malin dikutuk, namun janji tak perlu dikutuk. batu. batu batu dada runtuh"untuk menggantikan perempuan, mesti ada perempuan yang baru" dan maulidan yang dipeluk rusuh, mematahkan harap diam-diam
Sebagaimana pertemuan, hidup dengan kisah-kisah yang hadir dalam lingkungan, puisi juga hadir dari pertemuan pun kehilangan, dan perjalanan kata-kata, puisi bisa menjelma apa saja, mungkin bahagia, mungkin luka-lara, mungkin senyuman di bibirmu. Oya, puisi Maulidan Maulidan ini baru berhasil saya "nyatakan" selesai, tidak ada revisi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H