Perubahan selalu berkembang sesuai dengan peradapan dan berkembangan jaman. Manusia akan meninggalkan sejarahnya tanpa adanya buku. Keberadaan sastra, bacaan sastra, dan tradisi membaca semakin tergeser oleh arus perkembangan jaman. Derasnya ilmu teknologi, semakin menggerus dunia sastra. Jaman hadir dengan menyulap aneka peristiwa dan informasi sebagai dunia hiburan yang menjadi trend budaya. Buku dan tulisan akan segera ditanggalkan. Kita semakin terhanyut oleh derasnya arus jaman berbalut teknologi yang semakin membudidaya dan melekat dalam diri masyarakat sekarang. Tinggallah kita disebut sebagai lompatan budaya.
Disamping ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkuasa saat ini, seni sastra tidak dapat dipungkiri keberadaannya bahwa seni mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan hidup suatu bangsa dan negara. Kepribadian dan identitas suatu masyarakat maupun bangsa dapat diaplikasikan melalui seni. Kehidupan sastra suatu bangsa meliputi aspek penciptaan yang menggabungkan sastrawaan, penelitian (pengamatan) yang melibatkan para peneliti, dan melibatkan para penikmat karya sastra itu sendiri. Pengajar sastra merupakan seorang intelek yang produktif, sedangkan peserta didik merupakan seorang penerima yang berfungsi mengaplikasikannya sebagai suatu identitas diri yang merupakan suatu proses berpikir.
Aspek-aspek kesastraan berjalan dengan dinamis dan seimbang. Namun faktanya, tidak demikian adanya. Pengajaran sastra menjadi sebuah permasalahan dan keluhan di tingkat pendidikan sekolah saat ini karena belum berjalan secara optimal dan mencapai tujuan yang produktif. Pengajaran sastra justru hanya membahas dari segi strukturnya saja yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya.
Langkanya penelitian sastra yang dapat dijadikan sumber bagi pelaksanaan pengajaran yang dilakukan pengajar sastra merupakan satu hal yang mendesak, di samping kemampuan meneliti yang juga sangat terbatas (Sayuti, 1987). Guru sebagai seorang pendidik dianggap kurang memiliki kompetensi (pengetahuan) sastra yang luas. Seorang guru kurang inovatif dan kreatif memberikan pemahaman tentang sastra. Ruang lingkup dan gerak pengajaran sastra hanya terbatas pada Silabus dan SKL. Model dan sistem pembelajaran sudah di atur secara rinci di dalam Silabus. Pada hakikatnya, seorang guru tidak bisa menjadi seorang intelek yang produktif dan bisa menjadi stimulus kepada peserta didiknya mengenai pengajaran sastra yang produktif. Seorang guru tidak bisa bereksplorasi secara luas dan hanya fokus pada Silabus yang menjadi pedoman dalam sistem pembelajaran yang mempersempit kreativitas seorang guru.
Disamping itu, bermuara pada apresiasi dan minat baca peserta didik yang masih rendah terkait dengan karya-karya sastra. Karya sastra semakin tergeser dan dikesampingkan, bahkan dianggap kurang penting. Minat baca dan menulis peserta didik dengan sastra mulai luntur. Sastra hanya dianggap sebagai hiburan dan pelengkap mata pelajaran di sekolah. Peserta didik lebih mencintai mempelajari bahasa negara lain (Inggris) dibandingkan dengan bahasanya sendiri (Indonesia) yang diaplikasikan melalui sastra yang justru sebagai budayadan identitas Indonesia. Pengetahuan dan pemahaman sastra bahkan masih secuil dan sangat sempit dibandingkan dengan dunia teknologi, dunia yang menyulap panggung teater manusia.
Beralih dari aspek guru, sudut pandang lain berdalih pada sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan saat ini yang tidak pernah memberikan ruang gerak yang cukup pada pembelajaran sastra. Padahal, pengajaran sastra sebagai wadah untuk generasi yang akan datang untuk melahirkan sastrawan, kritikus, penulis maupun dosen (pendidik) sastra untuk terus mengembangkan dan merealisasisan sastra agar tetap produktif dan tidak tergeser oleh derasnya arus jaman.
Bahasa dan sastra saling berhubungan dan memiliki kaitan yang erat. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain dalam satu aspek hubungan. Sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 1995). Penguasaan keterampilan berbahasa didukung oleh pengajaran sastra. Keterampilan berbahasa mencakup empat aspek, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), keterampilan menulis (writing sklills). Keempat keterampilan tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Bahasa sebagai cerminan pikiran dan kepribadian seseorang.
Dalam pengajaran sastra, seorang guru dituntut untuk menciptakan suasana pembelajaran yang PAIKEM, yaitu pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Disamping sebagai seorang fasilitator, guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada pengajaran sastra yang diberikan serta dapat menerapkan metode dan sumber belajar yang bervariasi. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didiknya untuk aktif dan produktif sebagai hasil dari respon yang dapat menghasilkan input dan outcome sesuai dengan tujuan awal.
Guru harus bisa mengembangkan potensinya, supaya bisa berinteraksi dan menciptakan pembelajaran yang berkualitas serta melahirkan peserta didik yang berkompetensi dan berkualitas. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu Kompetensi Pedagogik (guru harus mampu menguasai materi dan berwawasan luas), Kompetensi Profesional (guru harus bisa bekerja dan bertanggung jawab dengan profesinya sebagai seorang pendidik), Kompetensi Kepribadian (guru harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi peserta didiknya), Kompetensi Sosial (guru harus bisa bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, teman sejawat, peserta didik, maupun dengan atasannya).
Ruang lingkup pengajaran sastra sebagai basis dari mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik mempunyai kemampuan dan keterampilan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika berbahasa yang baik dan benar baik secara lisan maupun tulis. Mampu menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai wujud budaya dan intelektual manusia Indonesia demi bahasa persatuan dan bahasa negara. Eksistensi budaya Indonesia dipengaruhi oleh bahasa masayarakat Indonesia itu sendiri, bagaimana intelektual manusia Indonesia mempertahankan dan mengembangkan bahasanya sebagai identitas dan jati diri sebagai bangsa yang mempunyai komitmen terhadap budayanya.
Pendidikan tidak hanya menitikberatkan kepada pengetahuan saja tetapi juga bagaimana seorang guru mampu membuat formulasi baru terhadap pengetahuan tersebut. Sastra tidak hanya mengkritisi teori dan dipandang abstrak. Guru sebagai pelaksana dalam pembelajaran harus mampu membuat formulasi baru yang kreatif dan inovatif dalam pengajaran sastra, karena sastra bukan hal yang abstrak. Guru harus bisa membuat karya sastra dan menjadi teladan kepada peserta didiknya, tidak hanya sekedar menyuruh peserta didiknya untuk mencipta karya sastra, misalnya puisi. Pengajaran sastra harus dikembangkan sejak dini di tingkat sekolah supaya bahasa sebagai budaya dan kepribadian manusia Indonesia tidak lantas tergerus oleh arus jaman. Guru harus memperkenalkan kepada peserta didiknya, bahwa sastra itu “Menyenangkan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H