Lihat ke Halaman Asli

Mirna, Itukah Kau?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mirna Itukah Kau

Cokky “okky” Celcia’s

Sepuluh tahun yang lalu kutinggalkan desaku, sebuah desa kecil yang mungkin tidak semua orang mengetahui, sepuluh tahun yang lalu aku pergi mengadu nasib di Ibukota, meninggalkan sejuta kenangan, sejuta khayalan dan sejuta impian. meninggalkan Mirna gadis desa yang selalu tertunduk tersipu malu ketika kuajak bicara, yang selalu setia mendengar segala keluh-kesah dan tawa bahagiaku.

Namun kutelah meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu.

***

Pagi yang cerah di Ibukota, secerah hatiku hari ini. karena aku akan pulang, oh ibu oh bapak sudah kubayangkan seraut garis pertanda usiamu talah uzur dipelupuk mataku. ku langkahkan kaki dengan penuh harap dapat segera bertemu dengannya.

“oh ibu, oh bapak, aku akan kembali.” dalam hati aku merasa semakin rindu saja terhadap beliau.

“Surabaya, Surabaya berangkat jam 09.00″.

Aku tersentak, seorang kenek bus menghampiriku menawarkan jasa.

Ku segera menuju bus yang sudah dijejali penumpang, “masuk Mas, masih ada yang kosong.” Seru kondektur. Kumelihat masih ada satu bangku kosong dipojok belakang, aku duduk, kusandarkan kepala dalam-dalam ke jok yang terasa keras.

Sudah kubayangkan wajah innocent seorang Mirna, gadis desa yang selalu membuat hatiku gerimis setiap kali kumendengarnya. akankah Mirna setia menanti, semenjak pergi putus sudah tiada hubungan kabar darinya. hanya satu yang selalu kuingat darinya, ya… itu adalah ikrar kami berdua sebelum berpisah.

***

Kala itu sore hari dipematang sawah, kami duduk berdua. aku cerita semua padanya persoalan yang membuatku harus pergi ke kota. Mirna mendengarkan setiap kata yang aku ucap dengan seksama, lalu ia berucap “Mas apakah Mas merasa sudah yakin dengan keputusan yang mas ambil?”

Aku hanya menjawab “demi masa depan kita, mas yakin pilihan ini tidak salah.”

Ku elus rambutnya yang halus, dengan setengah manja ia berkata padaku “Mas, mas baik-baik yah disana Mirna akan setia menanti, semoga apa yang dicita dapat tercapai.” pertanyaan darinya hanya aku jawab dengan anggukkan, “tenang saja, mas berjanji tidak akan terlalu lama meninggalkan Mirna, Mirna baik-baik yah disini jaga ibu.”

Akhirnya pematang sawah itu menjadi bukti cinta kita bersemi.

***

Kira-kira 1/2 perjalanan lagi aku sampai kerumah, aku sengaja turun dulu hendak membelikan oleh-oleh untuk kedua orangtua dan satu adikku, tidak lupa teruntuk Mirna yang aku sayang. setelah kupilih-pilih akhirnya dapatlah, buah tangan yang tidak terlalu mahal namun layak guna.

Matahari sudah hampir tenggelam setelah seharian berganti mobil sampai 4 kali aku harus meneruskan perjalanan kerumah memakai ojek, kampungku kini telah banyak kemajuan sangat berbeda dengan sepuluh tahun silam, sepeda motor sudah bisa dijumpai hilir-mudik.

Rasa rinduku telah membuncah-buncah di dada, ku ketuk daun pintu rumah ibu yang sudah lekang dimakan waktu, setelah sekian lama ku ketuk tak ada juga suara yang menyahut, akhirnya kuputuskan untuk lewat pintu belakang saja, namun ketika aku akan melangkahkan kaki terdengar suara ibu memanggil namaku.

***

“ndu, nak itukah kamu…., aduh nak ibu sudah kangen sekali singin berjumpa denganmu nak.” sambil memeluk ku tiada henti ibu berucap.

“mari-mari masuk nak, bapak mu ada didalam sekarang bapakmu sring sakit-sakitan.” aku mengikuti langkah ibu dari belakang dan masuk kedalam rumah.

Terlihat bapak sedang terbaring di bale-bale bambu yang agak reot, matanya terpejam. entah tertidur entah sedang apa, aku pun tak tahu. perlahan-lahan aku tepuk bahu bapak, “assalamu’alaikum bapak.” ku ambil tangan bapak lantas kucium dan kupegang erat-erat. terlihat tangan bapak penuh dengan urat-urat yang menonjol keluar, menggambarkan betapa berat beban hidup yang harus dijalani.

“bapak, ini windu pa. bagaimana keadaan bapak, bapak sehat?”

"beginilah ndu keadaan, bapak. bagaimana dengan mu sendiri nak?"

"alhamdulilah, windu baik-baik saja." begitu haru aku melihat bapak.

“bu, neneng kemana? bagaimana sekolahnya?” aku bertanya pada ibu. neneng adalah adik perempuan ku satu-satu nya terakhir kali kupandang wajahnya sepuluh tahun yang lalu ketika itu ia masih kanak-kanak dan berwajah imut. dan kini aku akan melihat adikku yang sudah menjadi salah satu Kembang desa di kampungku.

“oh Neneng, ia sedang pergi ke surau. biasa mengajar anak-anak mengaji al-quran.” ibuku menjelaskan. “ndu, maghrib sudah hampir habis. Sudah sembahyang kah kamu?” suara halus ibu menyelusup ke dalam kalbuku. Kemudian ibu berlalu kedapur aku pun menyusul dibelakang ibu, hendak mengambil wudhlu.

***

Betapa sejuk air yang menimpa wajah ini, tak sesejuk air di kota. Lantas aku pun menghadap sang pencipta.

Kicau burung pagi membangunkan aku yang terlelap, baru lagi kali ini aku mendengar merdunya suara burung berkicau, ku buka jendela lebar-lebar, ku hirup udara pagi dalam-dalam. Kulirik arloji yang kusimpan di atas ranjang, jarum jam menunjukkan pukul 05.32.

Dahulu ketika masih kanak-kanak jam segini aku telah berkumpul bersama teman-teman di surau untuk bertadarus kepada Wa Encang, Ustadz di kampung ku, mengaji dengan suka cita dengan berjamaah, dengan suara yang kencang dan saling berlomba untuk menyelesaikan juz. Disitu pulalah aku mengenal Mirna, perempuan alim yang selalu tertunduk malu ketika kupandang wajahnya.

Tak terasa lama juga aku melamun sampai-sampai ketukan pintu kamar tak aku dengar, “Mas ndu, sudah siang. Apa mas tidak akan sembahyang?” terdengar suara halus perempuan, tapi itu bukan suara ibuku. Neneng kah itu adikku, oh betapa merdunya ingin segera aku melihat wajahnya.

“Neneng, itu kamu?” penuh harap aku bertanya

“iya Mas, ini Neneng”. Dari luar kamar terdengar suara menjawab.

Segera ku buka pintu kamar. Oh, alangkah aku takjub, Neneng kecilku kini telah menjadi gadis yang cukup menawan. Rambutnya tetap panjang sebagaimana dulu ketika aku meninggalkannya, namun wajahnya semakin manis saja, semakin aku bangga padanya. Neneng langsung mencium tanganku, “mas, apa kabar ndak kangen yah sama adiknya? Lama sekali di kota ndak pulang-pulang.” Sedikit manja ia berkata.

“iya, Neneng adik Mas yang paling cantik. Mas kan banyak kerjaan disana kan buat Bantu Neneng juga, kan Neneng bilang waktu dulu ingin jadi bidan. Gimana sekarang masih minat ndak?”

“yo masih lah mas, Do’ain Neneng Mas ya sebentar lagi Neneng mau Ujian kelulusan semoga nilainya bagus, dan jadi masuk AKBID ntar kan Neneng bisa bantuin persalinan Ponakan Neneng.” Dengan manja ia berkata sambil berlalu, namun segera aku ambil tangan nya, “Neng, mas mau Tanya nih?”

“Tanya apa toh Mas?” Neneng terbengong.

“Mbak Mirna gimana kabarnya, menurutmu dia kangen ndak yah sama Kang Mas mu?”

“ia baik-baik saja Mas, kalo untuk pertanyaan itu lebih baik tanya ibu saja, saya ndak enak ngomongnya.”

“emang ada apa? Jangan bikin Mas mu bingung toh?” aku semakin penasaran dalam hati bertanya-tanya, ada apa.

***

Diluar sana sang surya sudah jauh berada di poros, bumi pun terasa terbakar dibuatnya. Aku langkahkan kan kaki keluar rumah, sungguh telah banyak berubah kampungku ini. Dulu belum banyak rumah yang di Ploor Lantainya namun kini sudah berkeramik semua, kendaraan bermotor pun bisa terlihat terparkir dihalaman rumah mereka. Sedang asyik aku mengingat memory masa lalu, aku dikejutkan oleh tepukan halus dipundakku. Rupanya itu Ibu.

“Ndu, ada apa toh nak dari tadi Ibu lihat kamu seperti orang bingung?” ibu bertanya padaku. “apa kamu sakit Ndu?”

“tidak Bu, saya baik-baik saja. Hanya hanya memikirkan sesuatu?”

“apa itu Ndu?” ibu bertanya padaku.

“ucapan Neneng tadi pagi, sungguh sampai saat ini aku masih bingung mencari jawabannya.” Suara ku sedikit mengeluh.

“memangnya adikmu ngomong apa toh?”

“Mirna bu.” Hanya itu yang mampu kuucapkan.

“Ndu, apa kau masih mencintai dan mengagumi Mirna?” Tanya ibu padaku.

“Mirna adalah segalanya bagiku bu, ia adalah motivasi dalam hidupku, dia adalah yang pertama dan terakhir bagiku, ia adalah wanita yang membuat hatiku selalu rindu bu.” Jawabku.

“Ndu, tidak ingatkah kamu. Sudah berapa lama kamu pergi dan tak ada kabar kemari. Tidak ingatkah kamu akan hal itu ? Mirna bukan yang dulu lagi, bukan Mirna yang dulu kau cintai, kau sayangi, kau kasihi dan dan bukan pula mirna yang kau kenal dulu. Semua telah berubah nak, seiring perjalanan waktu.” Panjang lebar ibu bercerita padaku.

“memangnya ada apa dengan Mirna, mengapa ibu berbicara begitu bu, tolong bu jelaskan padaku, ada apa saja yang terjadi selama aku pergi.” Dengan rasa penasaran yang membuncah aku bertanya pada ibu.

“Harus bagaimana ibu memulai ini semua nak, memang tak seharusnya ini terjadi. Waktu itu selepas kau pergi, hampir setiap hari Mirna datang kemari bertanya dan terus bertanya, apakah kau telah memberi kabar, bertanya kapan kau akan pulang dan begitulah dan tak pernah lagi ia datang kemari. Sampai suatu saat Ibu Lasti menghadap yang maha kuasa. Tak lama setelah kau pergi Ndu.” Disitu ibu menghentikan ucapannya.

***

“apa bu, apa saya tidak salah mendengar…” rasa penasaran berkecamuk didalam dada.

“iya nak, dan itu adalah awal dari…, maaf Ndu ibu tak sanggup tuk mengatakan ini.” Bulir air mata mengalir disudut mata ibu.

“apa bu, awal dari apa. Coba ibu jelaskan pada saya bu, jangan ada yang ditutup-tutupi.” Aku semakin penasaran, batinku tak tenang.

“setelah kepergian ibunya, Mirna semakin dilanda kesepian yang amat sangat, ibu sempat menyuruhnya tinggal dirumah ini agar kesedihan tak terlalu membelenggu hidupnya. Dan selama ia dirumah ini, ia selalu bertanya kapan kau datang, kapan kau pulang dan ia selalu bertanya pada ibu, apakah engkau benar mencintai dan menyayanginya. Kira-kira dua minggu ia menginap disini lalu ia meminta izin pada ibu untuk kembali kerumahnya, dan ibu pun mengizinkan karena selama tinggal disini ibu lihat Mirna sudah mulai menemukan semua hidupnya kembali, dan kejadian yang tidak terduga terjadi Ndu.” Ibu berhenti bercerita dan menyeka air matanya. “lanjutkan bu, terjadi apa?” pinta ku pada ibu.

“kejadian itu berawal dari suatu malam, ibu ingat sekali nak. Malam itu adalah malam selasa, ya malam selasa malam dimana esok adalah hari keempat puluh ibu Lasti meninggalkan kita semua. Sore itu Mirna pamit pada ibu untuk pergi mencari kebutuhan yang diperlukan untuk selamatan empat puluh hari ibunya, namun, Ndu sampai Larut malam ibu menunggu belum juga ia kembali, ibu resah, gundah dan sangat gelisah, dan kau tahu Ndu apa yang terjadi, pagi-pagi sekali Mirna datang kerumah dengan kondisi yang sungguh mengharukan".

"sungguh ibu tidak membayangkan ini akan terjadi padanya, sungguh nak ini adalah suatu musibah yang tak pernah terbayangkan." ibu berhenti berbicara dan mengusap air matanya yang mengalir deras.

"musibah apa bu, apa sebenarnya yang telah terjadi pada Mirna?"

"kau yang sabar ya nak,...." ibu menghentikan ucapannya, "Mirna telah dirampok dan diperkosa oleh segerombolan preman pasar."

***

"apa." bagaikan petir di siang bolong, sungguh keji sekali, siapa yang berani melakukan kebejatan itu kepada gadis sebaik Mirna.

"siapa mereka bu yang berani melakukan perbuatan sekeji itu?" tanyaku pada ibu.

"ibu pun tak tahu nak, sungguh ibu sangat menyesal membiarkan Mirna pergi sendirian, maafkan ibu nak. ibu telah lalai." ibu mengakhiri cerita.

"bukan ibu yang salah tetapi mereka, aku bersumpah bu akan membalaskan sakit dan perih yang dialami Mirna kepada mereka." dengan penuh emosi aku berkata.

"lalu sekarang Mirna dimana bu?"

"semenjak peristiwa itu, ibu tak tahu pasti dimana ia berada sekarang. namun menurut kabar yang ibu dengar ia kini menjual dirinya di jalan besar menuju arah kota".

"hah." sungguh aku hancur mendengarnya, sungguh aku sangat menyesal telah meninggalnya, aku sungguh sangat menyesal telah membiarkannya sendiri, sungguh aku sangat menyesal telah membuatnya merana. dalam hati tekadku sudah bulat, "aku harus menemukan Mirna dan membawanya pulang, akan kubalaskan apa yang telah dialaminya kepada mereka."

Tanpa menunda-nunda waktu lagi kulangkahkan kaki , walau pikiran tak menentu namun dugaanku hanya satu dan pikiranku terus mengingat sebuah nama, ya Jumron hanya satu nama itu, disanalah akan kumulai meminta perhitungan.

***

Ku teringat Jumron ialah teman kecilku namun sikapnya yang arogan membuat dirinya disegani semua orang dikampungku, dan kini ia menjadi preman pasar, sambil ku kepalkan tangan kencang-kencang tak luput sedikit pun bayang-bayang wajah Jumron dari ingatanku, ku percepat langkah, masih kuteringat dulu betapa Jumron sangat ingin dekat dengan Mirna, namun keinginan Jumron bertepuk sebelah tangan dan Mirna lebih memilih diriku, Mirna menolak dengan tegas keinginan Jumron karena tak suka terhadap sikapnya.

Tak terasa akupun sampai dihiruk pikuknya pasar, kususuri satu persatu wajah-wajah yang ada, sampai akhirnya….

“Buk”.

Ku layangkan tinju kewajah Jumron, kontan Jumron pun tertatih-tatih meringis, seluruh pengunjung pasar tersentak melihat apa yang aku lakukan.

“Bangsat kau, kuanggap selama ini kau temanku , batur gebyur kecilku, kenapa kau tega lakukan ini pada Mirna, katakan kenapa ?” dengan sangat emosi ku bertanya padanya.

“Hei Windu, sampean iki jancok. Berani kamu lawan aku, Mirna memang bukan milikku tapi aku sudah berhasil memiliki apa yang kamu ingin miliki hahahaha…”

Semakin panas hatiku mendengar ucapannya, kuhajar lagi dia, kini perutnya yang aku beri bogem. Tercium bau busuk minuman keras saat ku hajar dan mulutnya memuntahkan darah segar. Ku jegal lehernya, Jumron yang setengah mabuk diam tak berdaya, emosiku sudah diubun-ubun.

“ Katakan dimana Mirna, kau apakan dia… iblis ?” dengan geram ku bertanya.

“ A…a.. aku gak tahu, ku perkosa dia dan kubuang dia dijalan kota.., Uhuk.. uhuk… “ darah segar kembali mengucur dari mulut Jumron. Kubanting tubuh Jumron yang sudah terkulai itu ke tanah. “Bangsat, kubunuh kau.”

“Ndu, ndu jangan nak , jangan.” Ku kenal suara itu, itu suara ibu, “ibu mohon jangan nak, jangan kau lakukan itu. Mari pulang kita cari Mirna sama-sama”. Ucapan ibu meluluhkan hatiku, akupun berlalu meninggalkan Jumron yang kepayahan.

***

Malam semakin larut namun mata ini susah sekali untuk terpejam, kuingin segera esok pagi menjelang, kuingin bertemu mirna, hanya mirna kini yang sedang ada dalam fikiranku. Dentang jam yang semenjak tadi berdentang tak kuhiraukan.

“Mirna, maafkan aku. Ku lelaki yang lalai, yang telah menyia-nyiakanmu.” Hanya penyesalan yang kini kurasa, perasaan hati ini memang sedang berkecamuk, ditengah kebimbangan.. kuputuskan kan kususuri jalanan kota ini. Aku tembus dinginnya angina malam, langkah demi langkah yang kulalui tak pernah lepas dari pandangan. Kusorotkan senter yang kubawa untuk memperjelas jalan yang kususuri, peluh mulai menetes berbulir dari tubuhku..

Temaramnya lampu kota sudah terlihat dari kejauhan, kulangkahkan lebih cepat lagi kaki ini, “Mirna sayang, bersabarlah .. kan kubawa kau kembali pulang.” Penuh harap dalam hati.

Hatiku mulai gundah, hatiku mulai goyah, setiap tempat yang kudatangi tak pernah kutemui apa kuharapkan. Kulirik arloji ditangan, pukul 02.00 dini hari, akupun langkahkan kembali kaki ini disetiap tempat, setiap jalan yang kulalui tak satupun luput dari pandangan, sampai pada akhirnya aku sampai dikawasan prostitusi yang cukup terkenal dikotaku, tanpa canggung akupun mulai mencari disetiap sudut tempat ini, tak kuhiraukan tawa dan rayu para penjaja cinta yang mencoba menggodaku, hanya satu yang ada difikiranku, mirna…

***

Lama ku mencari belum juga aku temukan, kuberanjak menuju penjaja air yang ada tak jauh dari tempatku berdiri, kuhabiskan air dan kusapu peluh yang mengucur. Walau sambil melepas lelah tak pernah sedikitpun pandanganku melepas perhatian disekeliling, hingga pada satu kesempatan kulihat seseorang sedang duduk dibawah temaramnya lampu. Kulihat dia sepertinya bukanlah wanita malam seperti yang lain, karena dia tidaklah menjajakan dirinya, yang kulihat dia hanya menunduk dan menundukkan diri cahaya harapanpun mulai menampakkan sinarnya padaku, walau lampu yang menerangi orang itu sinarnya hanya temaram saja namun masih bisa menampakkan lekuk-lekuknya dan aku mengenali sosok itu, itu adalah.. hati ini masih belum percaya , tapi kucoba untuk meyakinkan perasaan bahwa itu adalah mirna. “Mirna itukah kau?” sendiri dalam hati kubertanya. Kulangkahkan kaki menuju padanya, semakin dekat .. semakin hati ini tak menentu, kini jarak ku dan jaraknya hanya beberapa langkah saja.

Setelah benar-benar berada dibelakangnya aku merasa semakin tak tahu apa yang harus kulakukan, akhirnya tanpa kusentuh tubuhnya berucap ku padanya memecah keheningan malam ini, “permisi.” Ku berujar padanya. Tapi ia hanya menggeleng, ku ulangi lagi, “permisi, mba” , lagi-lagi dia menggeleng. Akupun semakin penasaran padanya, “permisi, bolehkah saya.” Belum selesai aku berujar, ia berontak. namun ia tak berpaling padaku, “maaf mas, cari yang lain saja, ampun mas jangan saya.” Berkata ia padaku sambil terisak. Dan suara itu, suara itu adalah suara mirna, “maaf mba, jika boleh saya tahu kenapa mba berada ditempat seperti ini, sedangkan mba tidak seperti yang lain?” sengaja kubertanya padanya agar kubisa yakinkan bahwa ia memang benarlah mirna.

“pulanglah mas, untuk apa mas masih disini, aku memang bukan seperti mereka, namun hidupku tak ubahnya seperti mereka, aku ini hanya orang-orang terbuang yang kotor dan tak berharga, pulanglah mas.. kasihan anak istrimu dirumah menunggumu, hidupmu lebih terhormat, tak pantas mas berada ditempat seperti ini.” Ku sedih mendengar jawabannya, tak terasa air matapun mengalir, tak bisa kubayangkan betapa merananya mirna.

“lantas, adakah engkau menunggu seseorang disini. Jika memang kau bukan seperti mereka?” kembali kubertanya padanya.

“tidak ada siapapun yang kutunggu mas, aku hanya ingin mengenang kembali masa-masa indah dulu yang pernah kualami, hidup bahagia bersama keluarga dan merajut cinta yang indah.” Jawabannya sungguh, membuat hatiku sakit.

“kuakui sebenarnya maksud kedatanganku ketempat ini, bukanlah untuk tujuan yang tidak baik, sedang ada seseorang yang kucari.” Akhirnya kusampaikan padanya maksud dan tujuanku yang sebenarnya.

***

“siapa itu?” balik bertanya ia padaku.

“kekasih hatiku, pujaan jiwa yang sudah kubuat merana, yang sudah kubuat sengsara hidupnya, ku sangat berdosa padanya. Sebenarnya akulah orang yang paling sangat merugi didunia ini, aku ini lebih hina dari mereka-mereka.” Tak kuasa ku tahan semua yang kurasa.

“mas, aku turut bersedih mendengar ceritamu, semoga kau segera bertemu dengan seseorang yang kau cari itu, sepertinya wanita itu sangat mas sayangi, siapakah nama wanita itu, mungkin aku mengenalnya.” Sedikit terhibur hatiku mendengarnya, namun aku menjadi segan untuk menyatakan bahwa ia lah sesungguhnya yang sedang kucari, agak lama aku berfikir,

“wanita itu bernama mirna, mirna yang selalu kusayang dan kucinta yang telah kucampakkan dirinya begitu lama, aku sangat rindu dirinya.” Kujawab pertanyaannya, namun ia tidaklah menampakkan keterkejutannya, ya tuhan mirna bukankah gerangan yang sedang berbicara padaku.

“mirna, nama yang bagus ya mas?” jawabnya singkat, aku semakin heran padanya. Sekali lagi aku yakinkan dalam hati dialah mirna yang kucari, belum sempat kuberpikir lagi dia meneruskan ucapannya, “kasihan yam as dia, hidupnya sungguh merana, padahal dia selalu setia menanti mas, tapi mas telah lukai hatinya.. mas laki-laki yang jahat… jahaaaaaat !” dia lalu beranjak dan berlari, ku kejar ia. “Mirna kenapa kau lari, aku sudah lama mencarimu mirna, mari kembali mirna.” Terus kuberlari mengejar mirna, kulihat mirna terjatuh dan ia terisak-isak ditengah jalan, ku dekati dia, “mirna, janganlah kau lari lagi dariku mirna, lama aku mencarimu mirna, mengertilah aku mirna.. aku sangat rindu dirimu, senyummu, tawamu.. maafkan aku mirna atas semua kesalahanku ini.” Kuelus rambutnya.

Semakin keras tangisnya,

***

“mas windu, mirna pun sangat rindu sama mas, kenapa mas tinggalkan mirna begitu lama, mirna menunggu mas.. menunggu. tapi mas, lebih baik sekarang mas tak usah lagi mengharapkan mirna, mirna bukanlah mirna yang dulu mas kenal, mirna sudah tak pantas untuk mendampingi mas windu.”

“aku sudah tahu semua yang terjadi padamu mirna, dirimu tiada sedikitpun berbeda mirna, kau tetaplah pujaan hatiku, sayangku padamu tak pernah pudar dimakan waktu mirna, dirimu tetaplah wanita yang berharga bagiku, mari mirna kembalilah padaku.. kambalilah padaku.” Kupeluk erat-erat tubuhnya, “sungguh mas, benarkah apa yang kau ucapkan itu?” mirna bertanya padaku, “adakah kau rasa ada kebohongan dariku?” kucoba meyakinkannya.

“mas windu.” Ia memalingkan tubuhnya padaku, kulihat wajahnya.. ohh sungguh ayu mirnaku, ia peluk tubuhku erat-erat, “mas, jangan tinggalkan mirna lagi mas. Mirna mohon..”

Hanya ku anggukan kepalaku, kukecup keningnya mesra, “mari mirna, ibu sudah menunggumu dirumah, ibu sangat mengkhawatirkanmu mirna, hapuslah air matamu mirna, tak ingatkah mirna janjiku dulu padamu, walau jarak yang jauh, walau keadaan tak memungkinkan, walau nyawa jadi taruhannya tak akan pernah bisa menghapus sedikitpun rasa sayangku padamu mirna.” Semakin erat kupeluk tubuhnya.

Tak terasa pagi hampir menyingsing namun kami sepertinya tak ingin melepas pelukan ini, pelukan bahagia.. pelukan cinta, pelukan mesra..

akhir pagi yang bahagia.

***

Sudut Kota Cirebon, Oktober 2009

Penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline