Lihat ke Halaman Asli

Ujian Nasional Parasit Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” Pramoedya Ananta Toer. Sepertinya Pram ingin mengingatkan kepada seluruh manusia yang katanya “terpelajar” bahwa ide dan tindakan harus sejalan.

Semenjak diadankannya Ujian Nasional pada tahun 2005, kontroversi menjadi hal yang tidak terelakkan, dukungan serta penolakan keras dari masyarkat menjadi bumbu keniscayaan. Meskipun sampai sekarang pemerintah masih mempertahankan Ujian Nasional sebagai salah satu penentu kelulusan. Tentunya Ujian Nasional mempunyai andil yang penting dalam mewujudkan cita-cita UUD 45, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam perjalanannya, Ujian Nasional tidak selalu sama dengan apa yang diharapkan. Kepadatan pembelajaran di sekolah dinilai mengurangi konsentrasi anak didik untuk menghadapi Ujian Nasional. Sehingga pelajaran-pelajaran yang lain dan kegiatan ekstrakulikuler dikurangi jamnya atau malah dihilangkan hanya untuk menambah jam pelajaran yang diUNkan. Padahal kalau kita sejenak berkontemplasi, justru kegiatan ekstra merupakan kegiatan yang sangat diperlukan anak didik untuk mengembangkan bakat dan minat yang dimilikinya. Misalnya juga, Kesenian atau Sejarah (IPS), apakah pelajaran ini tidak penting? Justru dari pelajaran inilah kita bisa mengetahui budaya dan sejarah Bangsa Indonesia. Tapi sayang, itu ditiadakan.

Pada akhirnya bimbingan belajar di luar sekolah pun dibutuhkan, bahkan menjadi salah satu keharusan. Terlepas dari sisi positifnya, bimbingan belajar bisa dikatakan sebagai pragmatisme pendidikan. Berpikir instan dan lulus Ujian Nasional dengan nilai yang memuaskan merupakan satu tujuan luhur dari keberadaanya dan jika tidak lulus uang dikembalikan. Sederhananya, bimbingan belajar tidak mengajarkan proses belajar yang benar, tapi diajarkan bagaimana menjawab soal yang benar. Jika pragmatisme seperti ini sudah menjadi budaya pendidikan bangsa kita, kemungkinan anak didik yang lulus Ujian Nasional juga berfikir pragmatis di kehidupan selanjutnya.

Hasil penelitian di Amerika Serikat , sebuah lembaga nirlaba di George Washington University menunjukkan bahwa keterkaitan antar hasil kelulusan dengan prestasi belajar masih belum bisa dibuktikan (Elin: Kompas). Kenapa di Indonesia masih memakai “angka” sebagai tolak ukur keberhasilan anak didik. Realitas seperti ini memunculkan sebuah pertanyaan besar, mau di bawa kemana Ujian Nasional ? apakah untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa? Atau melanggengkan kepentingan kelompok?

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu badan yang berwenang, seolah tidak mau tahu dengan yang terjadi di masyarakat. Belum lagi kurikulum yang dirancangnya seperti kuda liar yang mengamuk, tergesa-gesa dengan sedikit pertimbangan. Keberadaan Ujian Nasional menjadi parasit yang merugikan pendidikan itu sendiri, tidak ada perbaikan, yang ada hanyalah perubahan teknis, seperti dari 5 paket menjadi 10 paket soal yang sama sekali jauh dari subtansi. Anak didik, orang tua, sekolah harus menanggung lebih segala bentuk tekanan. Dari memikirkan persiapan Ujian Nasional, mental, mungkin juga kunci jawaban jika bisa diperjual belikan atau memikirkan angka putus sekolah sebagai akibat  jika dinyatakan anak didik tidak lulus sesuai standar kelulusan yang ditentukan. Sungguh ironis.

Mengingat pula mengenai peningkatan biaya sekita 100 miliyar dalam pelaksanaan Ujian Nasional di tahun 2013. Selain bengkaknya biaya yang dialokasikan, apakah tidak lebih efektif jika biaya sebesar itu digunakan untuk membenahi sekolah-sekolah yang sarana-prasarananya masih kurang memadai demi pemerataan pendidikan. Daripada untuk menyelenggarakan ritual rutin pendidikan tahunan yang selalu menciptakan ketegangan, kehisterisan, bahkan kesenjangan. Ternyata, masyarakat masih harus sabar untuk menunggu hal yang demikian dilakukan oleh pemerintah.

Keterlambatan pendistribusian soal di sebelas provinsi, kekuranagan lembar soal, lembar soal yang tertukar dan seruan untuk memfoto kopi soal dari pemerintah menambah kekhawatiran kebocoran dalam Ujian Nasional 2013 adalah salah satu kelalaian pemerintah. Tetuntunya dengan kata maaf  hal ini tidak bisa terselesaikan. Pernyataan Kemendikbud untuk mengambil hikmah dari kekacauan Ujian Nasional tahun ini, mencuriggakan! Ada unsur pembelaan terhadap dirinya sendiri. Tidak ada keinginan untuk intropeksi diri. Lagi-lagi masyarakat dituntut untuk bersikap dewasa, mengakui bahwa manusia itu selalu dalam posisi yang salah. Padahal kekeliruan ini menjadi cerminan bahwa memang tidak ada keseriusan di lembaga itu sendiri untuk melaksanakannya. Perlu telaah kritis secara komprehensif untuk memperbaiki krisis pendidikan di Indonesia. Sehingga keberlanjutan pendidikan Indonesia tidak dihancurkan oleh hal-hal yang bersifat “penting tidak penting”.

Namun, pemerintah juga tidak bodoh, banyaknya tulisan di jalan-jalan, media cetak dan baliho-baliho, seolah pemerintah ingin mengajarkan kejujuran melalui Ujian Nasional. Tapi realitasnya sungguh berbeda, pesimisme anak didik untuk meraih kelulusan mengakibatkan tindakan yang tidak diharapkan dilakukan, membeli kunci jawaban salah satu contohnya. Padahal, tidak semuanya kunci jawaban yang dibeli itu bisa benar atau malah menyesatkan. Atau kalau memang kunci jawaban itu benar, apakah ada jaminan bahwa ujian nasional benar-benar bersih dari kebocoran dan mafia pendidikan. Dari sinilah, sebenarnya yang diajarkan Ujian Nasional adalah agar anak tidak mempercayai dirinya sendiri dan pemerintah bahwa ia mampu.

Kalau kita sebagai warga Indonesia yang masih memegang teguh Undang-undang Dasar 1945, maka menjadi sebuah kewajiban mempertahankan intisari mengenai pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, menghilangkan segala parasit pendidikan, baik dalam program pendidikan atau mekanisme di realitas yang nyata. Terutama untuk pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline