Lihat ke Halaman Asli

Okky Putri Rahayu

Ngeblog saat senggang

Cerpen: Menunggu Matinya Siti

Diperbarui: 2 Juni 2020   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi sembunyi dari kenyataan. (sumber: pixabay)

Sudah satu minggu ini kampungku berubah sepi. Semua orang kini mengunci diri di dalam rumah masing-masing. Tak ada satupun orang yang keluar dari rumahnya, kecuali para bapak-bapak yang bergantian patroli keliling desa.

Aku sendiri juga seminggu ini menahan bosan karena tidak pergi ke warung kopi. Rasanya mulutku gatal ingin mengobrol soal pemeran utama di film bokep kesukaanku dengan Lek Paimo, si pemilik warung. Sebuah obrolan yang menjadi tiket bagiku untuk bisa dapat segelas kopi tanpa perlu bayar. Belum lagi jika aku menunjukkan videonya ke Lek Paimo, aku bisa menjarah apapun di warungnya.

Tapi belakangan, semua warga ketakutan. Termasuk Bapakku yang menjadi galak jika ada siapapun yang melangkah keluar rumah selain dia. Sebab, hanya Bapak yang boleh keluar untuk keperluan patroli atau mengambil persediaan beras dan sayur di balai desa. 

Aku, ibu dan adek perempuanku seperti tawanan di rumah kami sendiri. Jika melanggar, maka Bapak tak akan segan menghajar. Sejujurnya, pernah suatu hari aku mengendap-endap keluar, dan setelah itu, Bapak memukul kakiku dengan sapu.

Aku sendiri heran dengan kekompakan seluruh kepala keluarga di kampung ini. Merekalah yang memutuskan gerakan mengunci diri di rumah. Mereka juga mengatur pembagian sembako dan sayur mayur hingga kebutuhan pokok lainnya. Dalam proses berdiam diri di rumah itu, para bapak-bapak memastikan bahwa tak ada yang kekurangan makanan. Dan tetap aman di dalam rumah.

Sikap itu tentunya bukan tanpa sebab. Semua itu bermula ketika Siti, janda kembang yang pergi merantau jadi pembantu di Batam pulang. Warga mendadak ketakutan saat melihat Siti yang penuh bintil-bintil kemerahan. Bintil-bintil yang memenuhi wajah, tangan dan kaki. 

Menurut cerita yang beredar, Siti tertular penyakit dari orang asing yang berkunjung ke Batam. Warga pun pelan-pelan menjauh dari rumah Siti. Termasuk Ibuku yang bahkan membuang oleh-oleh dari Siti. 

Sejujurnya, ibuku membakarnya. Katanya, itu mengandung virus. Aku sendiri hanya memandangi coklat yang leleh terbakar itu dengan hati yang hancur. Sayang sekali, coklat dari Singapura itu dimusnahkan begitu saja.

Menjadi janda muda memang bukan beban yang ringan. Semua bapak-bapak yang senang melihat Siti dengan kecantikannya, tak sejalan dengan kejijikan para ibu-ibu yang memandang Siti adalah penggoda lelaki orang . Kini ditambah, Siti pulang dengan berpenyakit aneh. Kulitnya penuh bintil, dan hidungnya terus berair. Dia juga sering terlihat mual.

Pernah satu hari, Siti datang ke bidan di kampung kami. Dan semua berawal dari sana. Ketika si bidan menyebut Siti terjangkit virus dari luar negeri.

Usaha Siti pun tak berhenti. Kudengar dari Lek Paimo, Siti juga bahkan berobat ke rumah sakit di kabupaten. Tapi semua memulangkan Siti dengan dalih Siti tidak apa-apa dan penyakitnya tidak bahaya. Lalu mereka memberikan obat alergi dan juga obat lambung. Siti pun kembali ke rumahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline