Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Tembangmu Terngiang di Telingaku

Diperbarui: 11 Juni 2017   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 Malam ini purnama bersinar sempurna,
 seperti yang kau sebut pada gatra kedua dhandanggula tlutur,
 lalu kau bertanya, apakah aku ingin mendengarnya,
 ya, aku ingin mendengarnya lagi, lagu ngilu itu,
 kali ini bukan sebagai pengiring kekalahan,
 melainkan pengingat akan sebuah keyakinan,
 bahwa sesuatu yang lahir dari perenungan panjang,
 tetap mampu bertahan, melintas dari telinga ke telinga,
 terjaga dalam benak orang-orang yang masih punya cita rasa,
 akan nilai-nilai warisan yang amat berharga,
 meski sudah ratusan tahun lamanya.

 Puan, percayalah, terkadang kebisuaan dan kebekuan
 adalah keindahan juga anugerah tersendiri,
 tidak setiap manusia diberi hadiah ini oleh Tuhan,
 kau tentu tahu, didalam keramaian suara,
 ditengah bising orang-orang mengejar pengakuan,
 dihadapan orang-orang bebal memandang keadaan,
 tak akan pernah kita temukan kelahiran baru,
 tak akan kita dapati kewarasan mengalir seperti rakit Joko Tingkir,
 tak akan kita ketahui sikap jujur dan polos seperti Sukrasana,
 tak akan kita kenal wacana-wacana tentang kesadaran,
 hanya ada serombongan orang yang tumbuh dewasa,
 berbaris menuju keseragaman pandangan,
 gampang takluk mengikuti sihir jaman.

 Lesat panahku tentu sampai lebih dulu,
 bahkan sebelum garis kutuk kekalahan akan pergerakan tiba,
 memutus urat keyakinan, memenggal nafas perlawanan,
 juga mengaburkan pandangan yang selama ini dijaga.
 Akhir-akhir ini aku mendengar kabar, berita baik juga buruk,
 orang-orang mulai mengucap salam perpisahan,
 meninggalkan medan perang, jauh sebelum ditiup terompet kerang,
 aku saksikan mereka lari satu persatu, lalu lenyap batang hidungnya,
 menjauhi padang Kurusetra didalam kepala,
 mengelak dari beban tanggungjawab memikul kesadaran,
 memalingkan muka dari wacana-wacana yang belum selesai digali,
 mengingkari matahari yang telah memberi mereka segala kebaikan,
 memilih mati diatas panggung dagelan sebagai seniman proposal,
 membenamkan diri larut dan hanyut mengikuti arus pasar.
 Puan, aku tak ingin menjadi seperti mereka,
 maka pada saat seperti inilah, aku kenangkan kembali tembang darimu,
 meski kau bukan Surthikanti yang kunanti, seperti yang pernah kau kata,
 bukan pula Sinta, sekalipun aku terkadang menjelma Rahwana,
 yang punya sepuluh gombalan kepada sepuluh muka yang berbeda,
 juga bukan Amba, cinta lama Bhisma putra Gangga,
 yang berjanji untuk pulang bersama, lewat anak panah Srikandhi.

 Puisi yang kita tulis di bulan puasa,
 telah mengantar kita pada sebuah adegan
 yang sama-sama tidak mampu kita raba rasanya,
 biar saja mengalir dan mengalur seperti aliran sungai Gangga,
 tak perlu kita tempatkan sebagai landasan teori seperti skripsi,
 karena ia bukan bau aspal basah yang harus jadi sumber masalah,
 begitu juga sebuah rasa, yang bukan sedih atau bahagia.
 Bagiku bait-bait yang kau tata adalah bunga yang mekar di Hastinapura,
 kubaca dengan tatap mata pemberian Dewa Surya,
 apapun maknanya yang dapat kuterjemahkan,
 ijinkan tembang dan puisimu, kukenang sebagai ganti
 sepasang anting dan baju zirah yang pernah dirampas Dewa Indra,
 kelak jika ternyata aku pulang lebih awal dari perkiraan,
 biar ia melekat bersamaku sebagai tanda mata untuk dunia.

Surakarta, 11 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline