Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo menimbulkan kontroversi. Dan sekarang nasibnya ada di ujung palu MKMK.
Muhammad Fauzan, Guru Besar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman mengatakan bahwa meski putusan MK itu bersifat final tetapi jika dalam putusan MKMK ternyata para hakim (9 hakim MK) itu terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik.
Kalau ini benar maka putusan MKMK bahwa kesembilan Hakim Konstitusi terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar kode etik berhubungan dengan putusan batas usia minimal capres-cawapres secara moral telah mendeligitimasi putusan MK soal batas usia minimal capres-cawapres.
Kita sama-sama tahu bahwa keputusan itu ternyata menuai pro dan kontra. Sehingga buntut keputusan yang kontroversial tersebut dibentuklah MKMK.
Sekadar flash back keputusan itu sebenarnya tidak akan banyak diprotes andaikata Koalisi Indonesia Maju (KIM) tidak mengambil Gibran menjadi cawapres Prabowo.
Masalahnya, Ketua Mahkamah Konstitusi adalah pamannya sendiri. Ada orang menilai bahwa ada konflik of interrest di sana.
Ketua Mahkamah Konstitusi adalah Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi dan sekaligus paman Gibran.
Putusan MK soal batas usia minimal capres-cawapres itulah yang memuluskan Gibran menjadi cawapres Prabowo.
Kita tahu bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Ada 4 tugas pokok dari MK. Pertama mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Kedua, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.