Rasanya berat menulis tentang duka sepak bola nasional yang tengah kita hadapi ini. Hampir sepekan sudah tragedi Kanjuruhan berlalu. Sepak bola kita bukan saja tengah berduka tetapi berada di titik nadir setelah apa yang terjadi pasca pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya.
Korban tercatat sebagaimana yang dilansir Kompas.com (selasa, 4/10/2022) adalah 131 orang. Ini menjadi angka kematian terbesar dalam sejarah kelam sepak bola Indonesia dan menempati urutan ketiga peristiwa mematikan dalam sejarah sepak bola dunia dengan mengacu kepada jumlah korban yang ditimbulkan.
Insiden yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022) lalu itu, bermula dari kekalahan tuan rumah Arema sehingga membuat suporternya turun ke lapangan. Tindakan inilah yang memicu bentrok dengan pihak keamanan di dalam stadion.
Bentrokan itu akhirnya berlanjut dengan tembakan gas air mata kepada pendukung arema bukan saja di lapangan tetapi juga ke arah tribune penonton. Kondisi ini membuat penonton panik dan berdesakan dalam mencari jalan keluar.
Korban yang besar ini menjadi catatan hitam sepak bola kita. Bahkan dunia pun ikut berempati dengan para supporter Indonesia yang menjadi korban pada Sabtu lalu itu. Liga-liga dunia turut berbelasungkawa bersama para korban Kanjuruan dengan mengheningkan cipta di laga-laga mereka setelah tragedi ini. Memang benar apa dicuitkan seseorang di twitter, kekalahan hari ini bisa berubah menjadi kemenangan di suatu hari nanti tetapi nyawa yang hilang hari ini akan hilang selama-lamanya.
Banyak pihak menyayangkan penggunaan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan. Karena statuta FIFA pasal 19 nomor b jelas-jelas melarang penggunaan gas air mata (gas pengendali massa) atau senjata api di dalam stadion. Tetapi pihak kepolisian beralasan, apa yang mereka lakukan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku, yaitu untuk mengatasi massa yang mulai berjubel di tengah lapangan. Dengan cara manual, petugas keamanan yang jumlahnya kalah jauh dari supporter tidak dapat membendungan massa yang terus bertambah di lapangan dan mulai anarkis.
Kini yang tertinggal hanyalah dukacita dan penyesalan. Nyawa sebanyak itu harus hilang karena tindakan-tindakan "dungu"-kalau boleh meminjam istilah Bang Rocky Gerung- yang seharusnya tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk pertandingan sepenting itu. Apakah itu supporter, pihak keamanan, dan pihak penyelenggara dalam hal ini PSSI. Kita patut berbela sungkawa untuk semua korban. Ini adalah tragedi luar biasa yang harus menjadi pembelajaran bagi kita semua agar kejadian serupa tidak terjadi lagi masa depan.
Banyaknya suporter yang turun ke lapangan, bahkan mulai anarkis membuat para petugas keamanan mulai panik. Jadilah gas air mata ditembakkan.
Jumlah kematian yang sebesar itu bukan diakibatkan karena rusuh antar supporter melainkan karena berdesak-desakan sehingga mengalami sesak napas. Korban-korban yang merenggang nyawa lebih disebabkan karena panik akibat dari tembakan gas air mata yang dilepaskan oleh pihak keamanan.
Namun sekali lagi, saat ini bukanlah waktunya saling mempersalahkan dan saling tuding soal tragedi Kanjuruhan. Memang harus ada pihak yang salah. Entah siapa itu. Tetapi biarlah pihak yang berwewenang melakukan penyelidikan dan investigasi yang nanti membukanya kepada kita.
Berbagai opini dan pendapat yang berbeda soal tragedi Kanjuruhan dapat kita temukan di berbagai media sosial dalam hubungan dengan tragedi Kanjuruan. Ada yang mempersalahkan PSSI yang tidak menggubris perubahan jadwal yang telah diberikan oleh polisi. Ada lagi yang mempersalahkan para supporter yang turun ke lapangan setelah pertandingan usai dan membuat anarkis. Ada lagi yang mempersalahkan pihak keamanan atau polisi dan tentara karena menembakkan gas air mata.