Bongkar pasang strategi pendidikan kita sampai dengan saat ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita belum jelas arahnya.
Hal ini mengakibatkan utak-atik kurikulum terus berlanjut. Ternyata formula yang tepat untuk konsep pendidikan yang benar-benar menciptakan SDM (Sumber Daya Manusia) unggul masih menemui kendala-kendala.
Karut marut dunia pendidikan kita tersebut berimbas pada kompetensi lulusan yang kurang memuaskan.
Masalah bukan saja ditemukan pada pendidikan dasar dan menengah tetapi juga berimbas pada pendidikan tinggi kita, termasuk di dalamnya soal tes masuk PTN.
Karena itu Pemerintah melalui Kemendikbudristek (Kementerian pendidikan, kebudayaaan, riset, dan teknologi) mengambil kebijakan menghapus Tes Kompetensi Akademik (TKA) masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Sebagai gantinya tes masuk PTN akan meliputi tiga seleksi, yaitu pertama didasarkan pada indikator pemeringkatan siswa dengan kriteria minimal 50% rata-rata nilai rapor seluruh mata pelajaran; maksimal 50% penggali minat dan bakat; nilai rapor maksimal dua mata pelajaran mendukung program studi; dan atau prestasi atau portofolio untuk program studi seni dan olah raga.
Kriteria kedua adalah seleksi nasional berdasarkan tes berupa tes skolastik (tanpa tes mata pelajaran). Tes ini bertujuan untuk mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, dan literasi dalam bahasa Inggris.
Ketiga, seleksi mandiri oleh PTN yang pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh PTN bersangkutan tetapi tetap harus memperhatikan peraturan pemerintah dan diawasi langsung oleh masyarakat dan peserta seleksi.
Ketiga jenis seleksi di atas lebih menekankan pada tes kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Tes skolastik sendiri memiliki perbedaan dibandingkan dengan tes mata pelajaran. Jika tes mata pelajaran berfokus pada hafalan masing-masing mata pelajaran, maka tes skolastik akan fokus pada kemampuan dasar seorang calon mahasiswa.
Lalu, apakah tes mata pelajaran untuk UTBK SBMPTN sudah tidak relevan?