Pemerintah akhirnya mengakui bahwa ada dua faktor yang menyebabkan harga minyak goreng naik begitu tingginya.
Tetapi sebelumnya, harus saya akui bahwa menulis tentang kenaikan harga minyak goreng yang hampir dua kali lipat di pasaran saat ini memang menarik dan seksi. Sebab, kenaikan ini sadar tidak sadar telah berdampak kepada berbagai sisi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan para pelaku UMKM.
Banyak sekali kompasiener yang telah mengulas, menganalisis dan bahkan mengkritisi harga minyak goreng yang meroket dan dilepas bebas kepada pasar.
Begitu pula pemerintah telah melakukan daya upaya untuk menekan kenaikan harga minyak goreng yang tidak wajar itu. Pemerintah mengeluarkan kebijakan satu harga di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, kebijakan itu ternyata tidak berhasil. Pemerintah kembali mencabut HET minyak goreng dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.
Pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan "kalah" dari para pengusaha minyak goreng yang dengan cerdik menahan hasil produksinya sehingga terjadi kelangkaan di mana-mana.
Setelah kebijakan mencabut HET minyak goreng, barang itu kembali melimpah di pasaran. Hanya saja harganya terlampau tinggi.
Keprihatinan besar adalah kepada para pedagangan kuliner yang salah satu bahan atau bahan utamanya minyak goreng. Mereka menjerit. Pedagang gorengan terpaksa harus menghitung ulang biaya produksinya dengan hasil penjualannya agar tidak merugi.
Efek domino pada kenaikan harga minyak goreng ini akan merambat ke mana-mana. Dengan demikian usaha UMKM yang baru saja mau bangkit, akhirnya jatuh tersungkur lagi.
Usaha tentu harus tetap jalan. Namun harus dengan kalkulasi matang agar usaha tidak gulung tikar. Berhenti usaha bukan pilihan bijak.
Kartu truf itu tetap ada pada pemerintah. Kelambatan dalam menangani masalah ini akan memiliki konsekuensi lebih besar pada segala lini kehidupan bernegara kita.