Pemilu 2024 masih tinggal dua tahun tetapi aneka atraksi politik para elite sudah mencuat ke permukaan. Bahkan jauh sebelum ini banyak yang sudah memajang baliho-baliho raksasa hampir di seluruh pelosok negeri.
Ruang publik (public sphere) disemaraki oleh hilir mudik aktivitas para politisian dan pendukung-pendukung mereka.
Meski demikian, aspek kepatutan dan kepantasannya perlu dipertanyakan, entakah pelbagai manuver tersebut sudah sesuai dengan koridor etika yang berlaku atau belum.
Politik dalam dirinya sendiri melekat tuntutan etis yang menjadi rambu (rule of game) bagi para aktor politik. Politik adalah seni bagaimana mengatur kehidupan bersama melalui kebijakan publik.
Dengan demikian pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang sanggup mengakomodasi segala kepentingan sehingga bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang mumpuni demi kesejahteraan bersama.
Pemimpin yang terpilih dari panggung politik itu juga mesti memiliki legitimasi moral yang dapat dipertanggungjawakan.
Pemilu 2024, selain menjadi pemilu serentak perdana, sekaligus mencari sang suksesor Jokowi. Pemimpin yang akan datang memikul tanggung jawab besar apakah kesuksesan politik nanti dibarengi dengan keberhasilan pemerintah mengatasi masalah-masalah yang dihadapai rakyat saat ini.
Masyarakat mengidam-idamkan pemimpin yang mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan riil mereka. Karena itu alat-alat politik partisipatoris publik harus tangguh di hadapan dominasi dan hegemoni kekuatan politik mainstream (baca: partai politik).
Pertanyaannya apakah partai-partai politik yang ada sanggup menampilkan figur calon pemimpin yang sesuai dengan kepentingan masyarakat?
Pemimpin ideal, siapa itu?
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki dalam dirinya kecerdasan intelektual agar dapat memimpin secara benar dan kecerdasan moral untuk dapat memimpin secara wajar dan bertanggung jawab terhadap tugasnya.
Dari konsep kepemimpinan seperti ini bila dijabarkan secara praktis, maka kualitas-kualitas di bawah ini yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.