Lihat ke Halaman Asli

Oka Syahputra

Anomali Indonesia

Benci tapi Rindu

Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Demokrasi diartikan sebagai kebebasan berpendapat, berekspresi yang dilindungi secara konsitusi oleh negara. Tantangannya, bagaimana ber-demokrasi yang sehat dengan akal pikiran dan tindakan yang sesuai kaedah dan nilai demokrasi. Sebagai negara kepulauan tentu saja tidak terlepas dari keberagaman kekayaan budaya dan tradisi. Bahkan suku, ras, agama bagian identik negara yang memperkaya latar belakang khasanah. Sebaliknya, senjata dalam memilah perbedaan menjadi isu dan masalah sosial kala percikan gesekan didengungkan. Perlunya menjaga demokrasi dalam wadah konstitusi bagi kemaslahatan negara.

Semua tahu ujaran kebencian atau hate speech sudah menjadi hal yang lumrah. Tanpa melihat dari sudut pandang masalah sosial benar atau salah, kita bisa seenaknya men-judge apapun. Aplikasinya saat ini bahwa informasi yang beredar banyak berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong (hoaks). Siapa dan apa yang membentuk peradaban budaya saat ini merupakan cerminan atas apa yang kita lakukan. Pengetahuan yang didasari atas ekskalasi emosi merupakan anomali yang dirasakan masyarakat kita saat ini. Perubahan pola pikir dalam menilai, menimbang informasi tanpa memerlukan check and balance.

Dampak ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian, diskriminasi, pengucilan, kekerasan hingga pembantaian etnis. Dominasi pikiran akademisi haruslah menjadi pioner dalam informasi, bukannya justru ditelan mentah-mentah. Keragaman informasi menjadi tren serbuan kiriman yang beragam dalam media internet, layaknya khalayak yang sedang mengantri pertandingan bola akbar. Tak henti-hentinya kanal informasi yang diterima tanpa melalui suatu titian inspiratif bahkan sebaliknya menjadi siraman ilmu yang tak terarah. Bijak melihat sudut pandang informasi untuk mengungkap suatu kebenaran.

Jarimu-Harimaumu, peribahasa yang cocok mendeskripsikan keadaan saat ini. Maka berhati-hati dalam memposting, komentar dan me-rely informasi. Masyarakat cenderung memilih informasi yang menarik bagi kebutuhan sosialnya,  Herta Herzog (1944) mengemukakan teori uses and gratifications dengan melakukan klasifikasi beberapa alasan mengapa khalayak memilih media yang khusus. Khalayak secara aktif melakukan pemilihan media untuk memuaskan kebutuhannya. Pemuda pemudi adalah aset strategis bangsa, modal utamanya pemikiran kritis, solutif dan selalu ingin mencari tahu. Cari informasi yang benar dan kritis dalam mengolah pikiran. Pemuda pemudi saat ini bukannya lupa jati dirinya, bahkan tiada hilang juga sosok pemikiran kritis. State of mind pemuda Indonesia merupakan kekuatan dan harta pada jati diri bangsanya.

          Kepada apa anda berpihak? "Which side do you choose?" seolah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Menetapkan netralitas terhadap penilaian isu dan masalah sosial, menjadikan kita buta terhadap adanya kebenaran. Dan sebenarnya dibalik kebenaran itu sendiri merupakan buah pikiran dari hasil usaha menggali potensi diri.. Pilihan ditangan kita, apakah mau termakan ujaran kebencian atau kebenaran dalam suatu berita informasi. Atau melihat dari perspektif akademis yang dapat mengedukasi diri. Semua pilihan ada di tangan anda.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline