Kompetisi Liga 1 memang telah berakhir, dengan menempatkan Persija Jakarta sebagai juaranya. Dari 34 pertandingan yang dijalani oleh setiap peserta Liga, klub asal Ibu Kota tersebut meraih poin tertinggi dengan raihan 62 poin, disusul oleh klub PSM Makassar sebagai peringkat duanya dengan torehan 61 poin. Selain gelar juara yang diraih, klub Persija pun mendapatkan beberapa penghargaan; Steffano Cugurra terpilih sebagai pelatih terbaik dan Rohit Chand sebagai pemain terbaik. Keduanya mendapatkan gelar prestisius tersebut lantaran mampu membawa Macan Kemayoran berprestasi di tahun ini.
Namun dari semua yang telah diraih oleh klub yang kini berusia 90 tahun tersebut, harus terganggu dengan opini dari berbagai pihak luar yang menyatakan bahwa liga ini hanyalah setingan, dan juaranya bahkan sudah ditentukan sebelum kompetisi bergulir. Melawan opini publik seperti itulah yang kiranya harus dihadapi oleh para pecinta Persija setelah klub kesayangannya meraih gelar juara.
Munculnya opini yang menyatakan bahwa liga ini telah diatur sedemikian rupa oleh para mafia kelas kakap sehingga juaranya saja sudah ditentukan sebelum kompetisi ini bergulir, dimulai saat sebuah acara talkshow di salah satu stasiun televisi swasta mengangkat isu pengaturan skor yang terjadi di Liga 2. Bagai mendapatkan angin segar dengan situasi seperti ini, setelah acara talkshow tersebut kemudian muncul berbagai isu-isu tidak sedap mengenai kondisi sepakbola di tanah air. Sampai menjelang Liga menyisakan beberapa laga terakhirnya salah satu mantan pemain nasional menyatakan bahwa juara liga sudah ditentukan sebelum bergulirnya kompetisi.
Bagai jamur di musim hujan, isu ini terus berkembang biak. Di ruang publik yang kian bebas di era digital seperti sekarang ini selalu dinyatakan bahwa prestasi yang diraih oleh klub kebanggaan The Jakmania adalah hasil setingan para mafia yang berada di kepengurusan PSSI. Berbagai macam artikel di media online sangat gencar dituliskan oleh banyak pihak yang seakan mengiyakan terjadinya liga setingan di kompetisi yang digulirkan oleh PSSI. Tentu ini sangat tidak mengenakan bagi para pecinta Persija. Ruang publik yang bebas dari sensor dan dominasi di era digital dipenuhi oleh opini masyarakat yang menyatakan bahwa Persija juara karena dibantu para mafia.
Sepakbola ialah sebuah olahraga penuh drama. Di Indonesia segala pengaturnya di atas lapangan masih menggunakan sumber daya manusia sebagai aktor utamanya. Maka terciptalah berbagai macam cerita. Namun ketika segala permasalahan dalam sepakbola masuk dalam media dan dibungkus dengan menggunakan isu mafia, sepakbola sudah tidak memiliki ke khasannya lagi.
Kesalahan dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh para pengadil lapangan tak bisa lagi dipahami sebagai hal yang manusiawi, melaikan sudah dianggap sebagai keputusan yang sudah diatur oleh para mafia sebelum pertandingan. Istilah mafia, liga setingan dan pengaturan skor sudah menjadi perbincangan umum di masyarakat luas. Artinya, media telah berhasil merekonstruksi realitas kepada khalayaknya dengan mengabaikan kerja keras para pemain dan hal-hal lainnya yang terjadi di atas lapangan.
Media massa pada umumnya dalam buku "Media Komunukasi Politik" yang dituliskan oleh Gun Gun Heryanto, merupakan media yang memiliki posisi sangat penting terutama dalam konteks era informasi seperti sekarang. Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan produksi, reproduksi, dan distribusi secara signifikan.
Selanjutnya menurut Zulkarnaen Nasution dalam bukunya "Sosiologi Komunikasi Massa", bagi banyak orang media merupakan sumber untuk mengetahui suatu kenyataan atau realitas yang terjadi, bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah media akan dinilai apa adanya. Apa kata media dan bagaimana penggambaran mengenai sesutu, begitulah realitas yang mereka tangkap.
Yang perlu kita pahami adalah apa yang media itu sendiri sampaikan. Isi media merupakan hasil konstruksi realitas dengan ideologi, kepentingan, keberpihakan media dalam memandang sebuah berita. Apalagi bila berita tersebut memiliki akibat yang mungkin menguntungkan atau merugikan media berkaitan dengan pihak-pihak berpengaruh terhadap pemberitaan peristiwa itu.
Ibnu Hamad, dkk., dalam "Kabar-kabar Kebencian", menjelaskan bahwa isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja alat mempresentasikan realitas, tetapi juga menentukan relief seperti apa yang hendak diciptakan bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya.
Istilah konstruksi realitas sosial pertama muncul setalah dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Burhan Bungin, "Konstruksi Sosial Media Massa"). Keduanya menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.