Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fauzi

Karyawan

Pemulung

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangisan Nyayu semakin kencang. Ia tampak tak tahan lagi menahan rasa sakit di tubuhnya. Usianya baru 3 tahun. Senyum selalu menghibur kami bertiga. Ibu tak henti-hentinya menetekan Nyayu sepanjang hari ini. Namun air susunya tak juga membuat Nyayu terdiam. Ibu kebingungan, sedang aku tak tega melihat adik tersayang nangis terus-terusan.

Hari sudah larut. Ku buka pintu reot kami para tetangga sudah tertidur pulas. Sedangkan di dalam rumah, Ibu semakin gelisah.

“Apa memang belum ada yang dapat di jual?” Ibu kembali menanyakan itu kepadaku. Tadi siang sudah ku jelaskan kepadanya, barang-barang belum terkumpul banyak. Memang sudah ada sedikit, biarpun di jual tak akan cukup untuk membawa biaya berobat adikku.

“Belum.” Jawabku singkat seperti tadi siang, ku tahu ibu pasti akan kecewa mendengarnya. Sama seperti tadi.

“Sudah ketemu Pak RT?”

Kembali, ibu menanyakan pertanyaan yang sama. Tadi siang pun beliau sudah menanyakannya kepadaku. Namun, siang itu aku tak menjawabnya. Menjawabnya sama saja akan mengundang pertanyaan lain dari mulutnya. Aku langkahkan kaki keluar. Pergi mencari harapan.

“Bayu.”

“Iya bu.” Kali ini ia mengejarku, sekalipun aku hanya berdiam beberapa menit setelah ia menanyakannya kembali padaku, ibu malam ini ingin aku menjawab pertanyaannya. “Sudah bu tapi tetap tak bisa.”

Pak RT Duroni masih saja menolak permohonan ku untuk segera dibuatkan keanggotaan BPJS kesehatan. Ia berdalih, kami bukan termasuk anggota rukun tetangga yang resmi. Keluargaku dan keluarga yang lain, yang bernasib sama seperti kami tak bisa dibuatkan kartu tersebut lantaran tak memiliki KTP setempat. Mendengar jawaban beliau yang selalu seperti itu, membuatku tak lagi mau menanyakan hal tersebut.

Aku dan ibu akhirnya duduk bersampingan. Mendengarkan tangisan panjang Nyayu. Tak tega ku melihatnya. Ibu meneteskan air matanya. Sungguh membuatku cemas malam itu.

*

Nyayu tumbuh besar seperti anak-anak seusianya. Rambutnya hitam lurus. Selalu saja menampakkan keriangan. Ia disenangi oleh tetangga lain. Kehadirannya kadang mengundang senyum. Kelucuannya selalu menggoda orang lain untuk segera menggendongnya. Aku pun seperti itu. Bagiku, ia adalah malaikat kecil. Ibu sangat bijaksana dapat melahirkan anak seperti dia.

Namun beberapa hari ini ia demam tinggi. Panasnya tak kunjun turun. Obat warung sudah ku coba berikan. Tapi tak kunjung turun panasnya. Ingin sekali ku bawa ia ke dokter, namun apa daya, barang asongan ku belum banyak sekalipun di jual harganya tak terlalu tinggi. Tangisnya setiap malam selalu membuat ibu cemas ketakutan.

Jam 1 malam. Ku lihat keluar rumah, semua tetangga sudah padam lampunya. Gelap gulita di rumah setengah permanen yang kami buat bersamaan. Ada sepuluh keluarga yang tinggal di tempat kumuh ini. Di sebelah Barat dan Selatan, terdapat komplek-komplek minimalis. Sedang di sebelash Utara dan Timur ada perkampungan warga. Aku dan yang lain menempati sebuah kawasan yang tak berpenghuni. Perkebunan yang tak kunjung laku, kami buat rumah setengah permanen. Sudah beberapa tahun di sini, namun kami tak juga memiliki kartu penduduk yang sah di wilayah ini. Entah kenapa hal tersebut selalu menimpa pemulung seperti kami. Yang tak diakui keberadaannya.

*

Bug bug bug bug, ku rasakan seluruh badan ku terkena hantaman pukulan dan tendangan dari pemuda yang memergoki aku sedang mencoba masuk ke dalam rumah warga untuk mengambil barangnya. “Bakar”, “Maling anjing”, “Bocah sialan”, mereka teriak mencemooh satu persatu. Sudah tak sanggup lagi aku melihat wajahnya. Seluruh tubuh terasa sakit.

“Sudah, sudah hentikan semuanya.” Ku dengar suara Duroni, Pak RT setempat. Aku lega, namun aku benci.

“Ternyata kamu Bayu.” Tampaknya dia masih mengingat wajahku meskipun sudah penuh luka karena hantaman para pemuda tadi. Dia menarik tanganku. Membangunkan tubuh yang sudah tak sanggup lagi ku tahan sakitnya.

“Sudah semuanya minggir, bantu aku membawanya ke rumah.”

“Kenapa harus di bawa ke rumah Pak.” Kecewa salah satu pemuda terhadap permintaan Pak Duroni. Ia tampak kecewa karena tak bisa lagi memukuli diriku. Kali ini ku tatap matanya. Kulihat wajahnya. Diapun semakin marah kepadaku. Kepalan tangannya hampir saja mengenaiku, namun aku masih bisa menghindar.

“Sudahlah.” Kali ini suara Duroni semakin keras. Semua diam, dan beberapa orang membantunya memopong diriku ke rumahnya.

Luka-luka di wajahku dibersihkan oleh seorang perempuan paruh baya. Kira-kira ialah isteri dari Pak RT. Tanganya sangat hati-hati saat membersihkan luka-luka di wajahku.

“Tahan ya nak.” Ucapnya coba memerintahkanku untuk menahan sakit saat luka tersebut dibersihkannya.

Saat ibu tersebut selesai, Duroni mempersilahkan aku untuk meminum teh hangat yang disediakan oleh seorang gadis seumuranku. Ku meminumnya pelan. Ku nikmati saat ia memasuki kerongkonganku. Lumayan dapat mengobati sedikit rasa sakit malam ini.

Ku lihat, sudah jam 3 pagi. Ibu pasti mulai mencemaskan aku. Saat ia sudah mulai tertidur dan Nyayu sudah tak menangis lagi, aku pergi tanpa sepengetahuannya.

“Kamu yang tadi siang kemari?” Kata Duroni membuka persidanganku malam ini.

“Iya Pak.” Jawabku singkat. Masih terasa sakit di sekitar rahangku. Persidanganku akan segera dimulai pikirku. Ku siapkan mental sebaik mungkin, meski tubuhku baru saja di hantam oleh warga yang penuh amarah.

“Siapa yang sedang sakit di rumah?” Aneh tiba-tiba dia menanyakan hal tersebut. Seakan ia tahu alasanku ingin mencuri.

Orang-orang memenuhi rumah Pak RT malam ini. Diantara mereka masih saja ada yang menyimpan amarah untuk memukuliku. Namun sebagian juga sudah ada yang mencoba memaafkan kekhilafanku. Ada juga pemilik rumah yang ku masuki tadi. Wajahnya masih tampak benci kepadaku. Namun seperti yang lain, ia harus menahannya lantaran Pak RT memerintahkan hal tersebut.

“Memang bapak mu kemana?” Bapak berkumis tebal menyampaikan pertanyaan kembali padaku. Padahal pertanyaan Pak Duroni belum ku jawab.

“Yang lain diam, biar saya yang memberikan pertanyaan. Jika masih menyimpan kesal, silahkan pergi dari sini.” Terdengar sangat tegas suara Duroni kali ini. Yang lain langsung diam, tak bersuara. Lalu dia menatap wajahku, seakan menyuruhku menjawab pertanyaannya tadi.

Ku jelaskan semua segala permasalahan yang menimpa keluargaku. Begitu juga tentang bapak yang sudah lama pergi meninggalkan rumah. Entah kemana tak ada yang tahu. Ku sampaikan kini hanya aku yang menghidupi ibu dan adikku Nyayu.

“Jadi itu alasan kamu tadi siang menemui saya. Adik mu sedang sakit ternyata.” Kali ini ia bertanya penuh dengan hati. Yang lain pun ku lihat sudah mulai tampak tenang mendengarkan permasalahan yang sedang ku alami saat ini. Ku lihat ibu yang tadi membersihkan lukaku menitikkan air mata. Naluri keibuannya tampak ku lihat. Aku pun tertunduk malu akan kelakuanku malam ini.

Pak Duroni memerintahkan yang lain kembali ke rumahnya masing-masing. Satu jam aku di interogasi. Kini hanya ada beberapa bapak-bapak dan pemilik rumah yang ku satroni tadi. Aku diberikan kesempatan meminta maaf kepadanya. Dan ia pun memaafkanku, dan entah mengapa ia memelukku.

Aku kembali ke rumah, namun beberapa orang masih di suruh Pak Duroni tetap tinggal di rumahnya. Aku pun pergi begitu saja, tanpa memedulikannya.

*

“Kamu melakukannya?” Ternyata ibu sudah memperkirakan apa yang ku lakukan. Ia menatap ku kesal. Seperti orang-orang yang memukuliku tadi. “Ibu tak pernah menyuruhmu mencuri Bayu.” Lalu ia bicara panjang lebar. Menyesali perbuatanku. Tapi seorang ibu tak akan tega melihat anaknya terluka. Diakhir, ia memelukku penuh kehangatan, “Jangan kau ulangi ya.” Aku mengangguk dalam pelukannya.

*

Hari sudah tampak terang. Ku lihat Nyayu sudah tak ada di sampingku. Setelah ibu menasihatiku, aku tidur di samping Nyayu. Sedangkan ibu langsung ke kamar mandi, mencuci pakaian. Ku lihat jam tua yang tertempel di dinding, pukul sembilan lebih 45 menit. Tubuhku masih terasa sakit.

“Maafkan kami yang selama ini mengabaikan keadaan dilingkungan ini.” Ku dengar dengan jelas suara Pak Duroni di luar rumah. Ia sedang mengobrol dengan beberapa orang di sana. Terdengar juga ada suara ibu ku.

“Masalah Bayu semalam sudah kami semua lupakan.” Lanjut Duroni menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah. “Setelah kejadian tersebut, saya dan pengurus warga lainnya mengadakan rapat singkat. Dan ini ada bantuan sedikit untuk membantu pengobatan anak ibu.”

“Alhamdulillah.” Ibu ku bersyukur dengan sangat.

Aku segera keluar dan berkumpul dengan mereka. Pak Duroni menatapku. Namun tak menyampaikan kata apapun. Rupanya sudah satu jam dia di sini. Setelah menyampaikan beberapa arahan, Pak Duroni pergi meninggalkan kami semua.

“Pak Duroni bilang, warga kampung akan membantu permasalahan kita semua di sini. Tak ada lagi rasa saling curiga dan mengawasi seperti yang selama ini terjadi. Dia menjamin, kita semua yang di sini akan lebih diperhatikan lagi.” Ibu mencoba menjelaskan kepada ku maksud kedatangan Pak Duroni.

Pagi itu, ada harapan baru bagi orang-orang seperti kami. Tampaknya mereka akan lebih terbuka kepada kami, para pemulung.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline