Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fauzi

Karyawan

Jokowi Harus Stop Subsidi BBM

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam harian Kompas 4 Agustus 2014, yang menjadi konsumsi BBM bersubsidi membengkak ialah pola konsumsi para pemilik kendaraan pribadi. Hal ini akan terjadi meskipun kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi telah dilakukan. Ini lantaran karena mencari harga yang lebih murah dan rasional masih menjadi pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Desas-desus akan dinaikkannya harga bahan bakar minyak kini semakin terendus kencang. Presiden terpilih Joko Widodo dihadapkan pada satu tantangan yang begitu besar di awal masa kepemimpinannya nanti. Ia dan pemerintahannya dihadapi pada satu pilihan sulit, tetap mensubsidi BBM atau malah ia berani mengambil keputusan yang tepat, yakni menghapuskan subsidi tersebut.

Kenyataan di atas mendapat respon yang sangat cepat dari Bank Dunia. Lembaga Keuangan Internasional ini menyatakan bahwa keberanian pemeritntah baru untuk mencabut subsidi menjadi indikator pertumbuhan ekonomi pada masa mendatang. Pada Koran Tempo tanggal 22 Juli 2014, kebijakan pengurangan subsidi bakal menjadi tantangan pemerintah baru. Namun, kenijakan ini, menurut Bank Dunia, mau tak mau harus diambil agar perekonomian Indonesia nantinya menjadi lebih baik. Apalagi sasaran subsidi BBM selama ini meleset dari target.

Menurut Jero Wacik, subsidi BBM sekitar 77 persen jatuh ke kalangan menengah yang umumnya punya mobil dan tidak berhak. Padahal subsidi BBM menghabiskan hampir Rp. 350 triliun sampai Rp. 400 triliun anggaran pembangunan. Kalau salah sasaran dalam subsidi, yang kasihan masyarakat kecil.

Sungguh menjadi persoalan yang sangat dilematis untuk Jokowi dan JK diawal masa kepemimpinannya nanti. Masalah subsidi ini kian memperburuk perkonomian nasional. Membengkaknya konsumsi BBM menaikkan anggaran belanja pemerintah dari Rp 201,7 triliun menjadi Rp 246,4 triliun dalam anggaran perubahan. Bahkan hal ini bisa semakin membengkak jika kuota BBM yang dipatok pemerintah melebihi 48 juta kiloliter. Sedangkan sampai perkembangan hari kemarin, sisa kuota BBM bersubsidi tinggal 18 hari lagi. Menurut Marcelo Giugela, Direktur Senior Ekonomi Makro dan Manajemen Fiskal Bank Dunia, subsidi ratusan triliun rupiah ini ternyata juga tidak dipergunakan untuk kebutuhan primer penunjang perekonomian. Tapi lebih banyak untuk rekreasi dan liburan.

Hal yang menarik ialah dari yang disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Danang Parikesit. Menurutnya, pemerintah harus menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi sekaligus memberikan pilihan lain kepada masyarakat. Kalau pilihan lain tidak diberikan, itu tidak adil karena sama saja memindah subsidi dari kantong pemerintah ke kantong masyarakat. Satu paket kebijakan yang terintegrasi sangat diperlukan. Kebijakan energy dan transportasi publik harus menjadi paket bersama.

Kesalahan pemerintahan SBY selama ini ialah mereka terlalu meninabobokan masyarakat akan dana-dana subsidi yang tidak diperlukan. Selain itu, kinerja SBY selama sepuluh tahun masa jabatannya, tidak ada sama sekali kebijakan yang tepat dan sesuai dengan masalah kualitas transportasi umum. Ia membiarkan pertumbuhan tingkat penggunaan kendaraan pribadi baik motor dan mobil terus bertambah, hal ini secara tidak langsung meningkatkan konsumsi BBM bersubsidi. SBY lupa, bahwa pola konsumsi Indonesia merupakan pencari perbedaan harga, bukan kualitas. Pemilik kendaraan pribadi cenderung mencari harga BBM yang lebih murah karena secara rasional dan ekonomis jauh lebih menguntungkan.

Sasaran yang kerap kali salah target juga menjadi masalah utama kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Seperti yang diungkapkan Jero Wacik di atas, 77 persen pengguna BBM subsidi ialah masyarakat menengah ke atas. Selain itu, menurut Marcelo Guigale, subsidi ratusan triliun rupiah ini ternyata juga tidak dipergunakan untuk kebutuhan primer penunjang perekonomian. Tapi lebih banyak untuk rekreasi dan liburan. Ini merupakan satu warisan yang sangat berat yang harus dipikul pemerintahan Joko Widodo di masa yang akan datang.

Padahal, menurut Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang. Mereka yang tengan bergelut dengan kemiskinan ialah penduduk dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang sangat rendah, tinggal di daerah terpencil dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar, dan mungkin tidak tersentuh berbagai program penanggulangan kemiskinan pemerintah. Perekonomian mereka tidak dipengaruhi dengan adanya subsidi BBM yang begitu besar memakan anggaran pemerintah, mereka tidak merasakan akan kebijakan pemerintah tersebut.

Semoga saja pada pemerintahan yang mendatang, mampu mengalihkan dana subsidi BBM ini ke sector lain. Perlu kita mengikuti langkah Meksiko yang juga pernah salah dalam menyikapi masalah seperti ini, mereka mengalihkan dana subsidi dalam bentuk bantuan tunai dan menambah anggaran infrastruktur. Langkah seperti itu perlu ditiru oleh Jokowi-JK di masa mendatang. Subsidi BBM selain membebani anggaran belanja dan juga tidak tepat sasaran, sebenarnya tidak mampu juga menciptakan kesejahteraan masyarakat miskin. Ratusan triliun rupiah Cuma dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah ke atas sungguh aneh republic jika hal itu terus dipertahankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline