Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fauzi

Karyawan

Demokrasi Bukan Kedaulatan Rakyat

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah kemerdekaan disuarakan pada 17 Agustus 1945, langkah pertama para pemimpin di masa itu untuk mendapatkan pengakuan dari bangsa lain dan juga untuk menolak pandangan bahwa kemerdekaan Indonesia ialah hasil ciptaan Jepang, maka mereka memutuskan Indonesia beberbentuk republik dan demokrasi.

Dalam harian Berita Indonesia No ke 4 Tahun Ke I Kemerdekaan diberitakan “Walaupoen bagaimana djoega rakjat Indonesia tetap setia kepada ketinggian dasar demokrasi, dan hanja diatas dasar itoelah kemerdekaan sempoerna dapat dan boleh berdiri. Republik Indonesia ialah bentoekan deklarasi sedjati.” Keinginan kuat untuk membentuk suatu negara yang demokratis sudah ada setelah kemerdekaan. Ini karena kemerdekaan Indonesia didapat dari hasil perjuangan yang panjang berpuluh-puluh tahun lamanya. Proklamasi kemerdekaan yang didasarkan atas kesadaran diri dan kesungguhan untuk mencapai itu, menyakinkan pemerintah kala itu bahwa bangsa Indonesia berhak menentukan sendiri falsafah apa yang akan diambil dalam membentuk sebuah negara yang berdaulat.

Sudah hampir 69 tahun usia demokrasi di bangsa ini berjalan, namun kemiskinan, ketidakadilan, kesengsaraan terus-terusan membawa rakyat Indonesia berada dibawah garis penderitaan. Meskipun data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan pada tahun ini per Maret 2014 turun menjadi 28,28 juta orang (11,25%), yang sebelumnya pada tahun 2009 mencapai 32,53 juta orang (14,15%).

Sesungguhnya dari itu semua, kenyataannya pada saat ini, secara nyata kita melihat kemiskinan tumbuh begitu cepat. Begitupun dengan kekayaan, tumbuh begitu dengan cepat. Kaum miskin semakin sakit merasakan penderiataan. Kaum kaya semakin terlena dengan kenikmatan. Kemelaratan ada di mana-mana. Kemewahan semakin nampak terlihat. Pada kenyataannya, kesenjangan sosial tidak dapat lagi disembunyikan di balik data-data yang bagus. Data-data yang resmi hadir dari pemerintah tidak menggambarkan bahwa kesenjangan itu terjadi.

Demokrasi yang saat ini sedang berlangsung, yang katanya selalu mengedepankan rakyat sebagai tujuan utama pembangunan, tidak mampu membawa perubahan yang begitu signifikan dalam menangani kemiskinan dan kebodohan. Hampir rata-rata penduduk Indonesia tidak merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang terus-terusan diklaim oleh pemerintah. Pertumbuhan memang tampak, namun pemerataan kian tak terasakan.

Demokrasi sejatinya bukanlah sekedar kedaulatan rakyat di bidang politik, melainkan juga meliputi ekonomi dan sosial. Secara politik, bangsa ini telah secara nyata menyatakan dirinya sebagai negara yang berdasarkan Republik dan demokrasi sejak jaman kemerdekaan. Begitupun di bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi, sesungguhnya bangsa Indonesia telah diwariskan oleh para pendirinya dengan konsep demokrasi ekonomi. Konsep ini dibuat untuk menciptakan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter masyarakat. Konsep demokrasi ekonomi ialah konsep khas bangsa Indonesia yang tak dapat ditemukan di belahan dunia manapun. Konsep ini adalah pencarian yang tak akan pernah selesai namun pasti akan bermanfaat bagi perbaikan dan pematangan kehidupan masyarakat.

Agar perjalanan demokrasi di bidang politik dan ekonomi berjalan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat harus diawali dengan perbaikan moral. Menurut filosof Prancis, August Comte, jalan satu-satunya sekaligus solusi yang tepat dan mengakar bagi problem masyarakat adalah pendidikan sosial. Oleh karena itu, menurutnya, politik dan ekonomi harus tunduk kepada nilai-nilai akhlak (moral). Bahkan Comte manambahkan perbaikan di bidang ekonomi tergantung perbaikan di bidang akhlak.

Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Moh. Hatta di masa kemerdekaan. Di saat perekonomian hancur dan berantakan yang tidak jauh berbeda dengan sekarang ini, Hatta mengajukan sebuah sebuah konsep perekonomian. Konsepnya ialah bahwa kegiatan ekonomi semestinya tidak menjadikan manusia sebagai pusat segala-galanya, apalagi manusia tersebut ialah manusia yang tamak dan rakus. Hatta ingin membawa manusia kembali kepada falsafah sejatinya melalui konsep ekonominya yang menempatkan manusia pada tempatnya yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Tuhan yang bermoral dan bertanggung jawab atas segala tindak-tanduk perilakunya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Negara terbelakang dan berkembang sangat mendambakan pertumbuhan perekonomian yang merata dan adil serta mendambakan akan satu tatanan perekonomian yang manusiawi. Sebab dunia, terutama Negara-negara maju terlalu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan rasional ekonomi daripada pertimbangan kemanusiaan.

Demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini tampak seperti badan tanpa ruh. Para legislator dan eksekutor kekuasaan negeri ini gagal menjalankan perannya sebagai pemimpin yang telah diamanatkan langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum menciptakan sebuah kebijakan dan peraturan yang mengedepankan kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Pada saat ini, demokrasi kita telah memasuki fase demokrasi elit. Para elit kekuasaan partai politik hanya menganggap demokrasi sebagai sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan semata. Ini semikin membuat elit politik sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi dan menjadikan suara rakyat terabaikan.

Demokrasi yang sudah hampir berjalan 70 tahun kini benar-benar sudah kehilangan ruhnya. Pondasi dan pemikiran “bapak bangsa” telah dibuang jauh-jauh, dan digantikan dengan kepentingan dan kebutuhan segelintir elit. Demokrasi semacam uapacara semata yang tidak memiliki arti apa-apa. Semakin tua demokrasi kita semakin terkikir tujuan utamanya, dan orang-orang yang tak bertanggung jawab yang mimiliki jabatan penting selalu mengatasnamakan demokrasi di atas segala tindakan “kejahatannya”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline