Sampai dengan awal Bulan September 2016 realisasi dana tebusan dan repatriasi dari program tax amnesty pemerintah Jokowi belum mencapai 5% dari target. Masih ada waktu sebulan lagi bagi para peserta program ini agar bisa membayar tarif tebusan yang terendah, yaitu 2% jika aset-asetnya di luar negeri direpatriasi, atau 4% jika ikut tax amnesty namun tidak melakukan repatriasi. Jika tax amnesty dilakukan lewat Bulan September maka tarifnya akan dua kali lipat. Target pemerintah untuk dana tebusan dan dana repatriasi program pengampunan pajak masing-masing adalah Rp. 165 triliun dan Rp. 1.000 triliun.
Bahwa tax amnesty gagal cukup mengherankan penulis mengingat apa yg ditawarkan cukup menarik. Jika wajib pajak ikut tax amnesty maka dengan membayar 2% atau 4% dari harta yg belum dilaporkan di SPT maka hartanya tidak akan dikutak-kutik lagi oleh pemerintah, bahkan sekalipun selama ini dia tidak pernah membayar pajak! Namun jika dia hanya membetulkan SPT, maka harta-harta yg belum dilaporkan selama ini akan bisa menjadi bahan pemeriksaan pajak. Bahkan jika dia selama ini sudah taat membayar pajakpun, petugas pajak bisa dan berhak memeriksa dan menelusuri setiap jengkal rumahnya, sampai kakus pun!
Kesalahan atau kelalaian (hanya) berupa tidak melaporkan harta ,atau kurang lengkap, dalam SPT bukanlah suatu pelanggaran berat, dan hanya dikenakan denda administrasi sebesar Rp. 100 ribu. Namun wajib pajak bisa diperiksa habis-habisan jika membetulkan SPT bukannya ikut tax amnesty. Tidak demikian halnya dengan wajib pajak besar yg mampu membayar konsultan pajak untuk menghadapi pemeriksaan.
Seretnya pemasukan dana program ini menurut kalangan pemerintah karena adanya kendala administrasi. Menurut staf ahli Wapres dan Ketua Dewan Penasihat Apindo Sofyan Wanandi, sebagaimana dilansir dari tribunnews.com 31 Agustus 2016, selain kendala administrasi juga ada kendala urusan utang piutang dengan bank. Bank-bank tersebut tidak mau mentransfer dana WNI ybs jika kredit-kredit (utang) mereka belum dilunasi.
Namun nada pesimis justru datang dari pucuk pemerintahan. Wapres JK menyatakan bahwa target yang ditetapkan keliru atau terlalu tinggi. Selanjutnya dia juga menyatakan bahwa target tersebut ditetapkan berdasarkan data-data yang kurang jelas. Nada pesimis lain datang dari Ketua Umum Apindo yang menyatakan bahwa diperkirakan hanya 50% target akan tercapai. (Tribunnews.com, 3 September 2016).
JIka pemerintah (yang diwakili Wapres JK) yang diasumsikan mempunyai data paling lengkap sekarang merasa pesimis maka prospek keberhasilan program amnesty pajak menjadi dipertanyakan. Penetapan target tax amnesty tanpa data-data yang jelas adalah suatu kecerobohan fatal. Program tax amnesty sudah digembar-gemborkan akan membanjiri RI dengan dolar, menjadi sumber pembiayaan pembangunan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Bagaimana jika gagal?
Menilik omongan Sofyan Wanandi, jika dia benar mempunyai data akurat, kelihatannya banyak WNI para pemilik dana perbankan adalah juga para debitur bank. Artinya aset bersih yang dia miliki tidaklah sebesar dana yang tercatat. Dana yang tercatat dikurangi utang itulah aset bersih. Kelihatannya, mungkin disinilah salah satu kesalahan data yg digunakan pemerintah. Dia hanya melihat aset (kotor) tidak memperhitungkan utang (karena datanya tidak tersedia). Di samping itu dana-dana yang dimiliki oleh WNI di luar negeri mungkin sebenarnya banyak yang sudah berada disini.
Banyak dana asing yang selama ini masuk lewat bursa saham, atau membeli Surat Utang Negara, atau dalam bentuk pemberian pinjaman dari bank-bank asing, mungkin sebenarnya dimiliki oleh WNI. Dana WNI yang masuk tsb dapat menggunakan kendaraan asing, misalnya manajer investasi asing, atau perusahaan asing. Artinya ada dana yg diharapkan akan masuk melalui program tax amnesty sebenarnya sudah hadir disini!
Di samping itu, aset-aset WNI di luar negeri selain yang ada di deposito perbankan mestinya telah diinvestasikan dalam berbagai instrumen (termasuk property dan aset tidak likuid lain). Instrumen tsb tidak mudah dicairkan begitu saja tanpa menanggung risiko rugi yang bisa jadi cukup signifikan. Dengan demikian selisih tarif tebusan sebesar 2% mungkin tidaklah cukup untuk mengganti kerugian tersebut. Hal ini menjadi salah satu penghalang adanya repatriasi dana yg diharapkan pemerintah.
Jika ternyata benar bahwa WNI pemilik dana di luar banyak yg sama sekali tidak ikut tax amnesty , bukan hanya sekedar tidak ikut repatriasi dana, mungkin mereka merasa yakin bisa membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi kewajiban perpajakannya, sekali pun ada harta yang belum dicantumkan di SPT. Tidak seperti masyarakat biasa mereka cukup sanggup untuk membayar konsultan pajak, jika mereka sampai diperiksa. Di samping itu memeriksa dan menelusuri harta-harta yg belum dilaporkan dan membuktikan bahwa ada kewajiban pajak yg belum dipenuhi merupakan tugas yg cukup pelik bagi Dirjen Pajak. Apalagi jika yg diperiksa jumlahnya ribuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H