Lihat ke Halaman Asli

Sutan Dijo

Seorang pria

Pengendalian Mutlak Allah atau Kehendak Bebas Manusia

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Orang sering dibingungkan, yang yang manakah yang benar : Allah mengendalikan segala sesuatu secara mutlak atau manusia memiliki kehendak bebas. Pola pikir sebagian besar orang adalah : kalau pernyataan  A benar pasti pernyataan B tidak benar, dan kalau pernyataan B benar maka pasti bukan pernyataan A yang benar. Jika manusia memiliki kehendak bebas pasti Allah tidak mengendalikan segala peristiwa secara mutlak karena Allah harus berbagi kekuasaan dengan manusia yang memiliki kehendak bebas untuk membuat pilihan. Ternyata tidak begitu, karena ternyata  pengendalian mutlak Allah dan kehendak bebas manusia keduanya benar, keduanya berjalan bersama. Dan kenyataan ini tidak akan bisa dipahami jika seseorang tidak memahami apa artinya bahwa Tuhan itu mahabesar, dan dengan demikian Ia mengatasi ruang dan waktu.

Menurut seorang penulis, sejarah manusia dan alam semesta adalah cerita yang ditulis oleh Tuhan, dan tintanya sudah mengering. Namun adalah suatu paradoks bahwa walaupun semua hal di alam semesta ini sudah terjadi bagi Tuhan, tetapi tidak bagi kita yang masih berjalan mengarungi lorong waktu ini. Waktu masih berjalan bagi kita. Masa lalu memang merupakan sejarah yang sudah berlalu dan tak dapat diubah. Tetapi masa depan masih ada, yaitu hal-hal yang masih belum terjadi bagi kita. Hal ini seperti pada waktu kita membaca sebuah buku cerita atau menonton film. Cerita dalam buku atau film itu bagi para pembaca dan penonton yang berada di luar dunia buku itu sudah terjadi dari awal sampai akhir. Buku itu sudah selesai dicetak dan film itu sudah  terekam. Namun bagi mereka yang ada di dalam kisah tersebut waktu terus berjalan, masa lalu sudah lewat, mereka selalu ada di masa  sekarang, sedangkan masa depan belum terjadi bagi mereka.

Demikian pula jika kita berbicara mengenai kehendak bebas manusia dan pengendalian mutlak dari Tuhan, Sang Pencipta. Kedua hal tersebut sepertinya bertentangan. Namun sebenarnya tidak. Keduanya adalah suatu kenyataan dan kebenaran. Paradoks yang demikian nampak sangat membingungkan, bahkan bagi para filsuf yang paling pandai sekalipun. Namun demikian rahasia tersebut terbuka bagi mereka yang mempunyai kuncinya. Kuncinya adalah membuang asumsi-asumsi yang salah tentang Allah dan mengetahui dan menyadari apa artinya bahwa Allah, Sang Pencipta itu, mahabesar dan mahakuasa. Mereka yang menganggap Allah itu seperti manusia akan memproyeksikan keterbatasan-keterbatasan manusia kepada Allah.

Pada waktu mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai pengendalian mutlak mereka membayangkan Allah sebagai seorang dalang atau sutradara. Dalam sebuah film atau sandiwara semua pemain diatur oleh naskah dan sutradaranya. Baik peran maupun semua perbuatan dan ucapan para pemain dikendalikan oleh sang sutradara. Kalau hubungan antara manusia dan Tuhan adalah seperti para pemain sandiwara tersebut dan sutradaranya, tentu manusia tidak bisa dimintai pertanggung-jawaban apapun atas semua perbuatan dan perkataan yang dilakukannya. Sang sutradara-lah yang bertanggung jawab atas semua perkataan dan perbuatan yang dilakukan para pemain.

Sebaliknya jika manusia bebas melakukan apa saja maka kuasa Tuhan menjadi terbatas, bukan? Tuhan lalu menjadi seperti manusia biasa, yang walaupun mempunyai kekuasaaan yang besar tetapi tidak mahakuasa, tidak mengendalikan segala sesuatu ( jalan ceritanya ) secara mutlak. Tidak heran kemudian ada orang yang tidak percaya kepada Kitab Suci karena itu tidak “di-fax dari surga.” Tidak heran jika ada orang yang menyangka bahwa Tuhan itu seperti manusia yang bisa salah sehingga Tuhan harus merevisi bukunya dan meralat atau membatalkan perkataannya sendiri. Atau ada orang yang menyangka bahwa Tuhan terpaksa harus berbagi kekuasaan dengan ilah-ilah lain, termasuk ilah-ilah genetis, sains, teknologi, virus-virus penyakit, bencana alam, dan lain-lain.

Kehendak bebas manusia adalah suatu wilayah kedaulatan dan kekuasaan bagi manusia. Manusia bebas untuk memilih berbuat apa saja disitu. Bahkan Allah sendiri tidak bisa masuk dan memaksakan kehendak-Nya di wilayah tersebut. Tanggung jawab atas kekuasaan manusia pada wilayahnya tersebut membawa konsekuensi yang sungguh dahsyat, yaitu surga atau neraka. Manusia mempunyai peluang untuk mengalami dan berbagi kebahagiaan dan kemuliaan dengan Sang Pencipta, atau resiko untuk mengalami berbagi penderitaan dan kehinaan dengan si pemberontak, Iblis, dalam keadaan tanpa akhir atau selama-lamanya. Dan kedua hal tersebut sepenuhnya dan semata-mata ditentukan oleh pilihannya sendiri. Kalau tidak demikian tentu Allah tidak adil. Tetapi Allah tidak dapat menjadi tidak adil. Dan sekali lagi ditekankan di sini, manusia tidak bisa mengelak dari tanggung jawab untuk menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih ini. Dia harus memilih. Tanggung jawab ini diberikan dengan begitu saja di luar kemauan kita dan kita tidak bisa menolaknya sama sekali.

Tetapi kantong-kantong wilayah manusia tersebut terletak di dalam wilayah kekuasaan mutlak dari Allah yang mahakuasa. Sesungguhnya, lebih daripada apa yang selama ini dipikirkan, peran manusia dalam menentukan nasibnya sendiri dan nasib dunia di sekelilingnya sangatlah kecil. Allahlah yang menentukan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini secara mutlak.

Apakah manusia bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak? Bisakah ia memilih sendiri siapa orang tuanya, susunan kode genetisnya, tempat ia dilahirkan, kebangsaannya, dan sebagainya? Memang keberadaan dan keadaan kita sekarang ini diakibatkan karena perbuatan-perbuatan orang tua kita dan orang-orang lain melalui jalinan peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Ini dapat kita sebut sebagai penyebab-penyebab kita. Bahkan hal-hal yang nampaknya berada dalam pengendalian ( pilihan ) kita seperti sekolah, tempat tinggal, pekerjaan, istri, dan sebagainya, mempunyai penyebab-penyebab yang berada di luar kendali kita. Kemudian cobalah menelusuri penyebab-penyebab tersebut, maka kita akan menemukan bahwa keberadaan mereka juga disebabkan oleh penyebab-penyebab yang lain, dan seterusnya kalau ditelusuri terus tentu akan ada satu pangkal dari semua kejadian di alam semesta ini. Dan pangkal kejadian itu adalah Allah yang tiada mempunyai penyebab. Karena Ia kekal maka Ia tidak perlu mempunyai penyebab.

Dalam hal keberadaan kita, kita tidak diberikan pilihan, kita ada begitu saja tanpa kita bisa menolaknya. Dan keberadaan kita itu disertai juga dengan suatu tanggungjawab karena kita dianugerahi dengan kehendak bebas untuk memilih. Jadi tanggungjawab itu dibebankan kepada kita dengan begitu saja oleh Sang Pencipta. Kita tidak mempunyai pilihan dalam hal ini. Kita tidak bisa memilih untuk tidak mempunyai kehendak bebas untuk memilih. Kita akan dimintai pertanggung jawaban sehubungan dengan kehendak bebas yang kita miliki untuk memilih, memilih pilihan-pilihan apa saja yang disodorkan kepada kita selama kita hidup di dunia ini.  Dan tanggung jawab yang demikian membawa berbagai konsekuensi bagi kita. Konsekuensinya akan mencapai puncaknya pada keadaan yang sangat ekstrim, yaitu surga dan neraka. Yaitu pada saat manusia meninggalkan dunia yang fana ini dan masuk ke dalam alam yang lain, dan mengenakan tubuh yang kekal.

Memang manusia harus mempertanggung jawabkan semua pilihan-pilihannya dan menerima konsekuensinya. Tetapi akibat dari pelaksanaan pilihan-pilihan itu sendiri dikendalikan secara mutlak oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia memang mempunyai kehendak bebas untuk memilih namun tidak mempunyai kuasa apa-apa terhadap segala akibat dari eksekusi kehendak bebasnya itu.. Kehendak bebas manusia itu tidak ada hubungannya dengan akibat dari eksekusi kehendak bebas tersebut. Manusia boleh mempunyai maksud atau keinginan untuk melakukan apapun juga namun yang memutuskan apakah keinginan itu terlaksana atau tidak, sebagian atau sepenuhnya, adalah Tuhan. Jadi bisa saja pilihan-pilihan yang buruk menyebabkan berbagai hal yang baik. Tetapi manusia akan diganjar karena pilihan-pilihan buruknya itu alih-alih karena akibat-akibatnya yang baik, karena hal-hal yang baik itu adalah perbuatan Tuhan.

Apa yang tersembunyi dalam hati manusia sangatlah mengerikan. Kita semua jauh lebih jahat daripada yang kita kira. Pernahkah Anda membaca atau menyaksikan di televisi kejahatan yang tersembunyi tersebut kadang-kadang muncul ke permukaan karena dipicu oleh suatu kondisi tertentu. Seorang ayah yang begitu baik hidupnya selama ini tiba-tiba terbukti melakukan suatu perbuatan yang sangat keji terhadap anak tirinya sendiri hanya karena merasa terhina. Seorang ibu membunuh anak-anaknya sendiri karena tekanan ekonomi. Bahkan sejarah mencatat pada jaman dahulu ada ibu-ibu yang dalam keadaan normal merupakan wanita-wanita yang lemah lembut dan penuh kasih, dalam keadaan kelaparan karena peperangan tega memasak anak-anak mereka sendiri. Mereka yang kenal dekat dengan para pelaku perbuatan keji kadang-kadang tidak atau sulit untuk percaya bahwa mereka tega untuk melakukan perbuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan jahat tidak selalu dapat terlaksana karena Tuhan masih mengendalikan mereka. Alangkah mengerikan dunia ini jika semua kejahatan manusia diijinkan muncul ke permukaan. Dunia masih terpelihara karena Tuhan masih mengendalikan orang-orang jahat.

Pilihan-pilihan dan maksud-maksud, baik yang jahat maupun yang baik tidak selalu diijinkan muncul ke permukaan dalam bentuk perbuatan maka harus ada suatu batu ujian untuk mengidentifikasi termasuk jenis yang manakah seseorang itu, sekalipun Allah mengetahui segala sesuatu yang ada dalam hati manusia. Batu ujian itu akan membagi seluruh umat manusia menjadi dua bagian.

Jadi kesimpulan dari semua itu adalah bahwa sejarah alam semesta ini adalah seperti suatu lukisan yang telah selesai. Sang Pelukis Agung itu adalah Tuhan. Kuasnya adalah kehendak bebas manusia. Catnya yang berwarna-warni adalah hukum-hukumnya yang mengatur alam semesta ini. Kehendak bebas manusia untuk memilih itu justru dipakai oleh Sang Pelukis untuk menggoreskan berbagai cat warna-warni dengan sekehendak hati-Nya. Hal ini hanya bisa terjadi karena Tuhan itu mahabesar, mengatasi ruang dan waktu, sehingga kehendak bebas setiap manusia itu bagi Tuhan bagaikan suatu benda padat yang sudah tetap bentuknya.

Jika Tuhan mengendalikan segala sesuatu secara mutlak, jika semua kejadian di dunia sudah terjadi bagi Tuhan seperti lukisan yang sudah kering catnya dan tidak dapat diubah lagi, jika manusia harus bertanggung jawab atas pilihannya, lalu hal terbaik apakah yang dapat dilakukan oleh seorang manusia? Hal yang terbaik ialah berserah diri secara total kepada Tuhan. Berserah diri artinya menyelaraskan atau menundukkan jiwa dan kehendak kita sendiri dengan kehendak Tuhan.

Berserah diri bukanlah suatu hal yang mudah. Berserah diri bukannya tidak berbuat apa-apa. Malahan, menurut seorang penulis, yaitu Ibu Jeanne Guyon, berserah diri adalah suatu bentuk aktivitas yang paling mulia, paling tinggi, paling berkualitas dan paling sulit. Berserah diri adalah suatu kerja keras, suatu peperangan yang sengit, suatu perjuangan yang sulit. Berserah diri artinya menggunakan anugerah kehendak bebas kita untuk memilih untuk tunduk kepada kehendak Tuhan. Fokuskan usaha kita hanya pada penundukan diri terhadap Allah karena hanya di area itulah semua usaha dan perjuangan kita bisa efektif; di luar itu, semua hal dikendalikan Allah secara mutlak. Itulah pilihan yang terbaik bagi manusia Ω

Dari : The Answer"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline