Lihat ke Halaman Asli

18 Tahun Asap "Merayap" Pemerintah Tidak Tanggap?

Diperbarui: 24 Oktober 2015   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kabut asap di  Jambi dan Riau  saat ini masih menjadi pembahasan dikalangan masyarakat, terlebih lagi terbakarnya “dibakarnya” hutan sudah sangat mengganggu masyarakat di Provinsi jambi dan Riau, tidak hanya disitu, kabut asap juga mepunyai dampak yang buruk bagi pendidikan, Sekolah banyak yang diliburkan, penundaan maskapai penerbangan dan lain sebagainya. Akibat kabut asap, tidak hanya berdampak bagi masayarakat Indonesia, sebagai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga ikut merasakan akibat dari kabut asap tersebut. Di dalam negeri sendiri, para nitizen mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah lewat sosial media den gan membuat hastag #melawan asap. Tidak hanya di dalam negri, Beberapa minggu yang lalu, Negri Jiran Malaysia dan Singapura sempat membuat hastag #TerimakasihIndonesia di Twitter, hal itu diungkapkan bukan berarti Malaysia Dan Singapura bangga terhadap Indonesia, akan tetapi itu adalah bentuk kekecewaan pada Indonesia karena asap yang bermula dari Indonesai juga mempunyai dampak buruk bagi kedua negara tersebut dari mulai pendidikan sampai pada kesehatan. Kekecewaan tersebut juga ramai dibuat dalam bentuk meme sindiran terhadap pemerintah.

Permasalahan kabut asap sudah terus-menerus berulang selama 18 tahun dan belum ada tindakan jelas oleh pemerintah yang memberikan dampak signifikan dalam penyelesaian masalah kabut asap tersebut, bahkan kabut asap yang terjadi saat ini tidak dimasukan pada status Bencana Nasional, padahal sudah banyak masyarakat yang meminta kepada pemerintah agar kabut saat ini dimasukan pada katagori Bencana Nasional karena kondisinya juga sanga, memprihatinkan, sedangkan beberapa hari yang lalu final Piala Presiden sudah dimasukan dalam katagori siaga satu di Jakarta, berbeda jauh dengan keadaan kabut asap yang sudah sering terjadi belum masuk pada siaga satu.

Kabut asap sudah bisa dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dilansir dari m.okezone.com Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa kabut asap masuk pada pelanggaran HAM karena sudah melanggar hak warga untuk menghirup udara segar dalam lingkungan sendiri, dari tahun 2011 sampai 2015 ada sekitar 1,5 warga yang terkena dampak asap langsung. Data yang dihimpun WALHI ada 9.286 warga menderita penyaki infeksi pernafasan akut (ISPA) di Provinsi Riau dan Jambi 24.602 Jiwa. Walhi juga mengungkapkan bahwa sudah sampai 13 orang yang meninggal karena menghirup asap yang mengakibatkan infeksi pada pernapasan.

Solusi yang diberikan Presiden justru mendapat kritik dari Walhi yang sudah sangat paham dengan keadaan alam. Sebelumnya Jokowi mengatakan bahwa untuk menagatasi kebakaran adalah dengan pembuat kanal-kanal dilahan gambut yang bertujuan agar air dapat mengalir terus, akan tetapi solusi tersebut disanggah oleh Walhi, dikutip dari m.repoblika.co.id Kurniawan Sabar Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi mengatakan hal itu juga menjadi bisa kontraproduktif terhadap upaya penanganan kebakaran lahan dan hutan, Walhi menambahkan agar jangan mengeluarkan pernyataan yang salah seperti itu yang juga pernah disampaikan oleh Presiden Suharto.

Sampai saat ini belum ada tindakan jelas oleh pemerintah terkait kabut asap yang sudah 18 tahun sering terjadi. Jika masalah ini terus terjadi siapa yang mau disalahkan? rakyatkah? Apakah memang tidak keseriusan pemerintah dalam menghadapi masalah besar seperti ini? Bukankah ini sudah masuk pada permasalahan negara yang sudah masuk pada kerugian negara yang besar juga? bukankah dibalik permasalahan ini sudah aktor yang menjalani?, 18 tahun berlalu kemana saja? apakah harus selalu seperti ini? jika ada yang ada yang terluka baru diobati? bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati? katanya sudah ketahuan dalang dari semua ini? kenapa tidak dia saja yang disuruh menyelesaikan masalah asap ini?, sudah 18 tahun loh!.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline