Saat senja manja di ufuk cakrawala, melukis laut dengan jingga megah, saat itulah perahu-perahu meninggalkan tambatan.
Perahu di dayung oleh satu sampai dua orang dalam sampan. Menuju spot-spot potensial, karang dangkal kedalaman 1-5 meter. Di spot-spot inilah, orang-orang melempar umpan, hingga gelap menjemput.
Bagi yang tak kebagian perahu, maka batutango bisa dilakukan dari pinggir pantai. Tetapi dengan spot-spot yang jauh dari desa.
Batutanggo, begitu biasa kami menyebut. Memancing satu ini dilakukan sore hari menjelang Magrib hingga malam.
Sepintas seperti memancing pada umumnya. Yang membedakan ialah tekniknya. Di mana memakai pemberat bagi yang menggunakan perahu. Hanya menggunakan senar dan kail serta umpan. Lalu di lempar hingga umpan tenggelam dan disambar.
Sementara bagi yang memancing dari pantai, harus memakai pemberat agar lemparan umpannya cukup jauh dan mendarat di tubir-tubir karang.
Menariknya, Tutango hanya dilakukan musim-musim ikan sedang rakusnya. Atau laut sedang tidak bergejolak. Jika sudah begini, yang dijumpai hanya kesunyian yang mendera dalam kampung. Khususnya di Desa.
Di kota pun, tak jarang mancing batutango juga dilakukan dari pelabuhan-pelabuhan penyeberangan.
Euforia musim batutango selalu menghadirkan banyak kejadian baik lucu hingga apes. Paling santer ialah rebutan perahu. Biasanya anak-anak remaja hingga rumah tangga muda, sudah mewanti-wanti perahu siapa yang akan digunakan nanti malam.
Kadang mereka langsung meminta izin ke pemilik perahu. Apakah malam memancing atau tidak, jika tidak ia akan memakai perahu. Bila izin diperoleh, maka yang lain tidak boleh memakai perahu tersebut.