Setiap kali melewati jalan belakang gunung Kota Ternate, selalu nampak para perempuan paru baya duduk mengengam martil dan mengetuk batu. Perempuan-perempuan hebat ini ialah para pemecah batu yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni Kelurahan Bula, Tobololo, Togafo hingga Rua.
Usia mereka rata-rata setengah abad bahkan ada yang lebih. Para perempuan ini berada di lokasi batu angus, barangka atau kali mati serta di pantaran pinggir pantai.
Tuntutan ekonomi demi mengebulkan asap dapur, biaya anak sekolah juga keperluan lain merupakan alasan utama mereka bekerja sebagai pemecah batu menjadi batu kerikil berukuran .
Setiap pagi, para perempuan ini turun ke barangka mengumpulkan batu, baik batu angus; bekas lahar Gunung Gamalama yang mengeras, batu mangga, batu bulat hingga batu pantai. Tentu setelah urusan rumah beres seperti memasak dll.
Batu-batu itu dikumpulkan lalu diangkut ke tenda sederhana yang terbuat dari terpal maupun payung besar. Di tempat inilah, ketukan martil pada batu yang dikumpulkan dilakukan.
Beberapa kali saya melihat proses itu dengan rasa nyilu. Bagaimana tidak, martil atau hamar yang diketukan ke batu bulat maupun batu angus mengeluarkan percikan-percikan seperti memantik korek yang tak mengeluarkan api.
Juga, dalam setiap ketukan, satu tangan memegang batu yang jika salah sedikit bisa mengenai tangan. Belum lagi, berkas serpihan yang beterbangan. Bisa saja mengenai badan, mata atau bagian tubuh lainnya.
Ketika di tanya, mereka mengakui bahwa memecahkan batu bahkan perkara muda. Tangan menjadi bagia tubuh yang paling depan merasakan sakit atau luka. Namun bukan menjadi masalah. Sebab, mereka telah melakukan profesi itu puluhan tahun.
Dari sini pula, saya mengetahui bahwa profesi memecahkan batu menjadi kerikil adalah profesi turun temurun. Ada yang sudah melakoni puluhan tahun dan beberapa berkisar 5-6 tahun.