Gelombang tinggi, hujan, dan hembusan angin menutupi jarak pandang di tengah laut yang terbatas menuju kota Ternate. Kapten, mengarahkan motoris agar merapat ke pulau terdekat.
Sekian lama mencari, berdasarkan insting dan pengalaman bertahun-tahun, speedboat akhirnya berlabuh di sebuah teluk yang cukup teduh, Teluk Pulau Mare. Di pelabuhan tepat di Desa Mare Gam.
Baru kali ini, saya menginjakkan kaki ke pulau yang berpenghuni kurang lebih 500 jiwa. Selama ini, hanya sebatas menikmati tebing-tebing indah pulau ini dalam perjalanan pulang dan pergi ke kampung.
Tak terhitung jumlahnya melewati pulau ini baik dari depan maupun belakang pulau. Ketika musim ombak, kebanyakan speedboat melewati belakang pulau menghindari ganasnya amukan ombak. Begitu seterusnya.
Pulau Mare sendiri berada di tengah Pulau Moti dan Pulau Tidore. Secara administratif, Pulau Mare masuk wilayah administrasi Kota Tidore kepulauan. Pulau yang memiliki daratan 20 km persegi ini terdapat dua desa yakni, desa Mare Gam dan Mare Kofo.
Mare dimaknai sebagai more atau dalam bahasa tidore ialah dia yang menunjuk pada seorang perempuan. Dulunya pulau ini dikenal dengan Pulau Manjanga; Rusa. Di mana terdapat banyak sekali manjanga yang mendiami pulau ini. Namun itu dulu, seiring waktu, manjanga sulit ditemukan.
Populasinya turun drastis akibat perburuan yang tiada henti. Meski sematan itu masih melekat, tetapi wujud manjanga mungkin tinggal cerita bagi anak cucu kelak.
Uniknya selain pemandangan yang apik dengan kondisi geogafis dengan bukit dan tebing tinggi, yang ketika berdiri di puncak pulau seperti menyaksikan lanskap dari keindahan ciptaan Tuhan sempurna, Pulau Mare menyimpan sebuah identitas yang berharga. Identitas yang masih melekat erat dan menopang ekonomi penduduk pulau. Identitas tersebut ialah pembuatan gerabah atau balanga Mare.