Sudah sejak dulu, hanya ada satu sosok di setiap hajatan berbasis gotong royong utamanua Leliyan yang menjaga makanan. Ia yang memberikan titah, makanan-makanan apa saja di keluarkan, disajikan hingga dibagikan ke seluruh penduduk desa. Selebihnya, tidak boleh ada campur tangan. Mereka Ialah hakim dalam manajemen tanpa buku teks.
Saya sangat suka suasana ketika para warga desa menepihkan waktu pribadinya dan bahu gotong royong khususnya dalam kegiatan Leliyan, bersama warga lain menyukseskan agenda dari pemilik hajatan.
Mereka meninggalkan aktivitasnya sebagai petani atau nelayan. Memilih tidak masuk hutan atau memancing.
Dari pagi hingga malam, warga aktif melakukan kegiatan di lokasi hajatan. Mengambil kayu di hutan, membela kayu, mengupas kelapa, membuat minyak kelapa, membuat santan, memasang tenda, mengangkut meja, memasak (menanak nasi, sayur, ikan dan lauk pauk) serta aktivitas lainnya yang diperlukan.
Bagian memasak inilah yang juga tak luput dari perhatian. Di mana semua hasil makanan seperti kue dan roti, di jaga oleh seseorang. Di sebuah ruangan khusus yang tidak bisa dimasuki orang lain selain dirinya. Biasanya ruangan ini ialah ruangan untuk menyimpan roti atau kue.
Sementara makanan hasil masakan atau ayami, juga punya tempat khusus di dapur, juga dijaga olehnya atau seseorang yang sudah menyandang status dipercaya.
Mereka biasa dibantu beberapa orang, tak lebih dari 5 orang jika tiba saat makan siang. Atau saat puncak hajatan. Di mana kesibukan sesungguhnya dimulai.
Bagi saua, ini sebuah tradisi unik. Saya sering menyebutnya sebagai manajemen paling klasik tanpa buku teks. Tidak dipelajari, tapi di turun temurun dipraktekan.
***