Jembatan dari bambu hasil kerja keras dua warga desa itu tersapu dalam semalam. Kekokohan struktur jembatan rupanya tak mampu menahan laju tekanan air. Pada akhirnya hilang tanpa tersisa. Bisa apa jembatan bambu menahan derasnya air?
Warga yang hendak menuju ke utara maupun selatan mau tak mau menerima kenyataan. Menggulung kaki celana, basah-basahan hingga digendong ke seberang.
Aktivitas menjadi terhambat. Apalagi ini jalan satu-satunya yang menghubungkan desa ke desa. Tidak ada jalan hotmix atau aspal yang mengitari pulau berjuluk Pulau Kenari ini.
Proyek asal-asalan 2006 sampai sekarang tak kunjung tuntas. Warga dalam aktivitasnya selalu menggunakan jalan hasil bikininan warga. Juga naik turun kali atau barangka.
Pulau Makian atau pulau kenari merupakan salah satu pulau yang memiliki banyak kali mati. Kali-kali yang tercipta akibat letusan Gunung Merapi tahun 1988 silam. Di desa saya saja, Mateketen dalam kampung yang tak lebih dari 2 KM, terdapat 3 kali mati.
Satu dua warga punya andil menyebrangkan orang-orang ke seberang. Tapi mau sampai kapan kondisi ini terus dihadapi?
Dari foto yang berseliwiran di medsos dan group WA, warga yang hendak ke desa tetangga utamanya tenaga pendidik, pelajar hingga tenaga kesehatan kadang harus rela sedikit basah.
Jika tidak memungkinkan, perahu bermesin tempel harus dikerahkan agar mengantar mereka ke tujuan. Namun jika laut bergejolak maka otomatis aktivitas kadang tak berjalan sama sekali.
Foto yang paling menarik ialah ketika siswa desa sebelah harus digendong menyebrang agar mereka bisa bersekolah.
Di sini, sekolah terkonsentrasi di Kecamatan atau di desa saya. Utamanya sekolah menengah atas. sehingga siswa di beberapa desa bakal berjalan kaki untuk ke sekolah.