Lihat ke Halaman Asli

Fauji Yamin

TERVERIFIKASI

Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Mahkamah Konstitusi dalam Pertaruhan Kepercayaan Publik

Diperbarui: 24 Juli 2023   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

 Demokrasi yang dijalankan tanpa dibingkai oleh rambu-rambu hukum, maka yang terjadi adalah anarkisme; sebaliknya, jika hukum ditetapkan tanpa melalui prosedur-prosedur demokratis, maka yang terjadi adalah praktik-praktik represif dan koersif kekuasaan yang diabsahkan oleh hukum” Thohari

Pukul satu siang, Tahun 2018, di Jalan Medan Merdeka, saya berdiri tercenung memandangi gedung dengan gaya klasik Romawi kuno ini. Sembilan pilar kokoh menopang gedung dengan nama besar terpampang di atasnya, Mahkamah Konstitusi.  Kewibawaan perpijar jelas dalam pandangan mata. Ketegasan sangat nyata, tegaknya konstitusi mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi. 

Lama saya memandangi rumah demokrasi ini dengan kagum sembari menimbang langkah untuk masuk ke dalam. Tugas dadakan dari pimpinan untuk meliput sidang putusan akhir sengketa Pilkada Maluku Utara 2018  harus dilaksanakan.  Cemas dan ragu berlahan menyerang.  Sudah kaku diri dengan liputan lapangan. Saya cenderung berada dibelakang layar sejak memutuskan melanjutkan jenjang perkuliahan. Dan tak punya pengalaman melakukan peliputan di kota sebesar Jakarta. 

Berutungnya saya berkenalan dengan salah satu teman yang turut melakukan peliputan. Berdua kami masuk. Pemikiran saya kala itu, untuk masuk pasti memiliki protokol yang sangat ketat. Namun semua pemikiran itu rupanya tidak terbukti. Saya hanya menyerahkan kartu identitas kemudian di beri tanda pengenal lalu diarahkan menuju lantai 2. Ruang utama persidangan di gelar.

Sembilan Hakim Konstitusi  atau atau the guardian of the constitution yang di ketuai Anwar Usman telah berada di ruangan. Juga pihak penggugat dan tergugat. Saya mengambil tempat di pojokan kiri dan melakukan tugas. Selama proses itu saya tak henti-hentinya memerhatikan jalannya sidang putusan tersebut. Ada kekaguman dan bangga diri. Jika selama ini hanya melihat dari Televisi, kini bisa langsung melihat proses secara langsung.  Beberapa kali pula saya terpaku pada satu Hakim Konstitusi perempuan pertama di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. representase kaum perempuan dalam ranah konstitusi. 

Kewibawan dan ketegasan nampak jelas dari raut wajah sembilan hakim yang bergantian membacakan tebalnya berkas perkara. Hingga sejam kemudian, Ketua Mahkamah Konstitusi mengetuk palu, tanda keputusan telah dibuat. Final dan mengikat. Mengakhiri perdebatan Pilkada. Keputusan yang harus diikuti oleh penyelenggara untuk mengesahkan pemenang Pilkada sesuai hasil keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Bagi saya, pengalaman dalam persidangan ini memberikan pemahaman yang sangat berarti. Terutama bagaimana MK memainkan peran dalam menjalankan tugas dan peran sebagai lembaga  yang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir. Tentu merupakan sebuah tugas berat dalam pelaksanaan dan pengawalan ketatanegaraan. Di mana setiap putusan yang dikeluarkan selalu menjadi pusat perhatian baik kalangan akademisi, politisi hingga rakyat. 

Kepercayaan publik adalah pertaruhan nyata di tengah polemik penurunan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum di Indonesia belakangan ini. 

Suasana Pembacaan Amar Putusan (Dokpri)

Naik Turun Kepercayaan Publik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline