Subuh datang membawa serta harapan. Bagi orang-orang yang percaya. Bu Aminah percaya itu. Kala mentari belum pecah diufuk cakrawala, jalanan sunyi sudah disusurinya.
Saloy berisi pisang dan singkong mantap dipunggungnya. Satu kantong kresek berisi sayur mayur-kangkung, bayam, daun singkong-lekat ditangan kirinya. Dompet kecil berwarna hitam berisi recehan tergegan erat ditangan kanan.
Wanita lima puluh tahun ini tak lupa berdoa sebelum berangkat. Rejeki harus dirayu sebelum dikuatkan dengan usaha.
Pagi masih terlalu dini untuk beraktifitas. Tenaga manusia belum maksimal diperas. Menikmati teh atau kopi lebih masuk akal. Namun bagi Bu Aminah, pagi adalah bagian hidup paling penting dari manusia. Sebuah fase yang baru ia jalani setahun tahun belakangan.
Semenjak tambang beroperasi, banyak pekerja asing dan lokal yang berdatangan. Kampung yang dulunya sunyi senyap, berganti kehidupan ramai. Rumah, penginapan, cafe buat ngopi sampai esek-esek hingga fasilitas terbangun.
Jalanan kampung tanah disulap beraspal. Walau debu tebal hasil penggarukan dan tumpahnya material membiki jalanan becek dan berdebu. Dulu kendaraan terhitung jari, sekarang roda dua hingha empat berseliwiran. Lanskap kota di pedesaan.
Hutan dan kebun berganti renggang sejauh mata memandang. Sekali terpandang, tak berujung. Pabrik-pabrik besar, dari mes pekerja hingga tungku pengolahan berdiri megah. Dan pagar-pagar mengelilingi. Pembatas bagi yang tidak berkepentingan.
Dari kampung, Bu Aminah menapakai setiap jengkal aspal berdebu dan becek itu. Sesekali ia harus berhenti. Memastikan pijakan kedepan dengan baik.
Satu dua kendaraan pekerja memang lewat. Namun tumpangan tak jua ditemukan. Kecepatan kendaraan menunjukan keburu-buruan pekerja dalam pergantian sift.
Dua kilometer tak terhitung jauhnya. Udara pagi yang menyejukan tak mampu menahan derasnya keringat yang mengucur. Mandi keringat.