" Setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda. Dan, kebijaksanaan adalah dimensi mahal pada diri seseorang. Ia memainkan peran sebagai nilai manusia. Dasar itu bisa meletakan sikap antara menghargai pendangan orang lain atau tidak,"
Jalanan malam di Jakarta, tidak pernah kering dari keramaian. Gelegar langit tanda hujan bakal datang tak menyurutkan sedikitpun kelenggangan. Sudah marwah kota metropolitan. Kesunyian tersimpan rapat dalam dada, sementara keramaian tak pernah lelah ditampakan.
Desingan suara kendaraan dan bunyi klakson bersahut-sahutan ibarat nyanyian jalanan ibukota. Telinga-telinga harus terbiasa pada komposisi nada ini agar bisa dibiang mampu bertahan.
Menikmati note nada bernama kemacetan. Panggung seni kehidupan atas harapan. Tertampung semua tujuan-tujuan. Dengan lakon dan peran yang dimaikan masing-masing. Tak terbaca hanya dari punggung atau wajah sekalipun.
" Manusia itu seperti lampu hijau dan lampu merah," Ujar Muliansyah. Driver Ojol yang saya tumpangi dari Cawang menuju Mall Casablanca.
Kemacetan membuat kami berdua beberapa kali geleng-geleng kepala melihat tingkah keburu-buruan dilandasi emosi pengguna jalan.
Beberapa kali pula terhenti di traffic light. Menyaksikan Kesembrawutan saat lampu lampu merah berganti hijau. Saling serobot walau di jalur itu sudah nyata merah.
" Kenapa kita harus belajar dari dua warna yang terpampang di traffic light itu," timpalku sembari mendekatkan pendengaran. Jalanan kota tidak memberikan jatah pendengaran jernih ketika mengobrol.
" Manusia itu seperti lampu merah. Ia tidak pernah ditunggu kehadirannya. Namun selalu ada guna memberikan mudarat dan nilai-nilai. Menarik manusia agar sejenak berhenti dan tidak terburu-buru. Walau kehadirannya sekian detik itu selalu dicaci maki tetapi ia tetap ada," jelasnya.
" Lalu bagaimana dengan hijau," tanyaku penasaran.