Pukul satu siang, keperkasaan mentari tak terbendung. Menggantung cerah di langit timur. Pokok awan tak memberikan harapan keteduhan. Hanya rimbunan pepohonan berjejer di ruang pesisir, sedikit-sedikit menyalurkan kesejukan dari terpaan angin.
Di sinilah, dalam kehidupan pesisir, masyarakat menyejukan diri dari hawa panas mentari. rebahan, bercengkerama, melakukan komunikasi dan segala aktivitas lain. Desa pesisir tak jauh dari perkara ini.
Sepuluh bahkan lebih anak sekolah, remaja, dan dewasa juga nampak berkumpul di bawah sebuah pohon ketapang. Sesekali pergi lalu kembali lagi. Canda tawa terdengar membelah ruang pesisir. Orang-orang di sini senang bercanda. Mungkin kehidupan harus dijalani demikian.
"Jam segini kok motor belum datang," keluh salah satu pria sembari menyipitkan mata memperhatikan tanjung di unung desa. Tanjung pembatas antar desa.
Masyarakat biasa mengidentifikasi kedatangan kapal laut baik speed boat atau kapal motor tempel; kapal kayu dari beberapa cara. Pertama, jam kedatangan yang sudah dihafal betul.
Kedua, jika lewat dari jam kedatangan mereka akan menunggu di pelabuhan dan memperhatikan tanjung dan ketiga, bunyi raungan mesin tempel yang bisa membelah ruang perkampungan hingga terdengar sampai ke kebun.
"Iya, biasanya jam segini sudah ada," sahut salah satu dari mereka.
Kumpulan para pria desa itu terus mengobrol. Beberapa nampak kembali ke rumah. Beberapa lagi terlihat mondar-mandir, hingga kadang bolak-balik mengecek keadaan.
Dua jam berlalu, raungan mesin 40 PK mulai terdengar. kapal datang terlambat. Pria-pria desa yang sejak pukul satu pagi menunggu mulai berdatangan. Dua jam menunggu membuat mereka bosan dan memilih kembali ke rumah.
Kapal motor tempel kayu menurunkan kecepatan. Terlihat jelas ada banyak muatan yang diangkut. Bergerak berlahan agar tidak menabrak karang. Tidak adanya jembatan membuat mereka harus lincah sandar pada posisi yang tepat. Sekali menabrak karang, selesailah sudah bisnis transportasi ini.