.....Belum bisa Minke. Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan dengar mereka bilang; lihat Belanda buntung pincang dengan anaknya itu. Jangan, Minke. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacat ayahnya sendiri. Dan hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya tanpa melalui suara dan pandang orang lain........
Di perdengarkan olehnya sebuah percakapan yang dikutip dari Buku Bumi Manusia Karya Pramodya Ananta Toer padaku. Lalu menyambung pada keadaan dirinya.
"Kakekku senasib dengan toko tersebut. Manusia yang dinasibkan punya keterbatasan fisik. Bedanya, ia tak menyembunyikan kecacatan dirinya. Namun kehidupan tak luput dari ejekan dan pandangan orang lain tersebut," ujarnya.
Bisingnya suara kendaraan di kota metropolitan ini seketika hening dalam pikiranku. Angin seketika berhenti. Cahaya temaparan lampu jalan beransur kalah dalam pandangan.
Matanya memandang jauh kedepan, sedikit berkaca-kaca. Duduk dipojokan kiri ku, pada sebuah bangku panjang berwarna biru yang mulai terkelupas, aku tidak berani menyelah ruang kedip yang sedang ia lemparkan jauh ke belakang.
Duduk kami berdua dalam kesepian sejenak. Ruang menjadi hampa. Hanya suara kucing yang berkelahi memperbutkan sisa makanan yang dibuang pedagang.
Makanan sisa pelanggan yang tak habis di memenuhi lambung dan berakhir di pojokan gedung-gedung tinggi; tempat sampah dan menjadi rebutan hewan-hewan yang beruntung.
"Boleh kah kau ceritakan padaku," selahku menebas kesepian.
"Dengan senang hati ku ceritakan"
Ia berkisah....