"Bagaimana progres rumah baca yang kamu dirikan?" Tanyaku pada salah satu kompasianer.
"Sementara masih jalan. Hanya saja kami terkendala dengan lokasi. Selama dua bulan ini kami menggunakan rumah guru, sesekali warga dan rumah para siswa," jawabnya.
"Lah bukannya kemarin kata Pak Kades bakal ada alokasi anggaran dan lahan untuk pembangunan rumah baca?" Ujarku mengingatkan.
"Ya hanya sekedar wacana bang. Ditagih pun katanya nanti dianggarkan. Tapi sampai sekarang janji tinggal janji," ujarnya lagi.
Rumah baca yang didirikannya merupakan buah dari dari diskusi kami bersama beberapa bulan lalu.
Saya mendorongnya untuk mendirikan rumah baca setelah ia begitu penasaran atas keberhasilan kami mendirikan rumah baca di salah satu kabupaten.
Dasar pendidikannya sebagai seorang guru kemudian mendorongnya melakukan kampanye kepada rekan-rekan mahasiswa. Apalagi kebanyakan dari mereka terkenal kritis.
Selain itu, dorongan paling kuat ketika ia menyaksikan dalam beberapa tahun belakangan, banyak siswa-siswi yang menghabiskan waktu dengan bermain, begadang hingga larut malam.
Hampir enam bulan lamanya ia melakukan advokasi kepada masyarakat dan mendorong mahasiswa agar ikut berpartisipasi sebagai bagian dari agent of change. Namun tak semudah membalikan telapak tangan. Mahasiswa sebagai pilar justru acuh ketika sampai ke desa.
Segala kebijakan yang dianggap tak sesuai dikritisi dengan memobilisasi masa melakukan demostrasi atau sekedar melaksanakan mimbar bebas di lokasi keramaian.