Seminggu belakangan, kita disuguhkan berbagai informasi mengenai kekerasan seksual. Paling santer yang terjadi di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan bebasnya artis Saiful Jamil dari penjara.
Disambut bak pahlawan layaknya sehabis memenangkan peperangan besar yang kemudian diburu media pemburu rating.
Dua kondisi yang sama-sama bertema kekerasan seksual dan sama-sama mendapat perhatian publik.
Apa yang terjadi di KPI menyiratkan bahwa kapan dan di manapun, kekerasan seksual selalu terjadi. Menariknya, pihak korban berani mengungkapkan kejadian tersebut.
Beda halnya dengan kasus kekerasan seksual yang tidak muncul ke publik terutama terhadap anak dan perempuan. Di mana mayoritas kasus seperti ini tidak terungkap lantaran banyak melibatkan kolega terdekat. Yang Oleh Komnas Perempuan disebut sebagai fenomena gunung es
Sementara fenomena penyambutan Saiful Jamil; saya tak akan membahas sosoknya tetapi sikap apatisme para simpatisan atau yang hadir pada saat itu dalam "melegalkan " minsed bahwa kekerasan seksual adalah perkara biasa-biasa saja.
Apa yang dipertontonkan seakan mengabaikan fakta bahwa kekerasan seksual sebenarnya adalah kasus serius yang bertentangan norma, hukum bahkan agama.
Paradigma seperti ini dapat menimbulkan multiplayer effect yang dapat menciptakan tabiat baru di masyarakat dan mungkin saja dapat meningkatkan praktek kekerasan seksual. Ujung-ujungnya, korban adalah pihak yang paling dirugikan.
Sebab harus menanggung beban sosial hingga psikologi yang tidak stabil. Seringkali, mereka dijadikan aktor yang "tidak berharga" sama sekali.
Kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang perlu mendapat perhatian berbagai pihak. n. Dan tidak menunggu "booming" terlebih dahulu. Ia harus dilawan dengan sinergitas semua golongan; lembaga, akademisi, pendidikan, LSM, aktivis hingga lingkungan keluarga.