Mau main bang? jleb. Jantungku mau copot, berdetak kencang. Tanganku gemetar, hampir saja kopi yang hendak ku sruput tumpah.
Waduh main apa ya? begitu polosnya jawabanku hingga membuat perempuan ini cemberut. Jadilah ia duduk di sampingku, mengeluarkan sebatang rokok lalu dihisapnya dalam-dalam dan dihebuskan kewajahku.
Sok polos apa benar-benar polos? tanyanya dengan genit. Kecelapatan tanganya tak terbendung, merangkulku, halus menyentuh kulit. Pipinya ia sandarkan ke bahu hingga wangi parfum tercium, menggoda. Dekapannya membuatku tak berkutit.
Ku alihkan wajahku, menatapnya dalam-dalam. Polesan halus make up menyempurnakan wajahnya, sedikit memerah di pipi. Matanya begitu bersih, rambutnya dikuncir begitu sempurna, dibalut dress merah dan celana jeans panjang. Apakah aku harus mengarungi bahtera samudara cinta satu malam?.
Belum lagi kujawab, Ia sudah membisikan tarif dari jasanya, "hanya dua ratus lima ribu puluh kok. Ayolah bang, lagi sepi ni".
Sialan, batinku. Aku hanya ingin menimati kopi sembari mendengarkan desiran ombak di pantai ini. Apalagi malam ini rembulan sangat indah. Pantulan cahayanya begitu artistik dengan udara yang merambah pelan.
Andai saja ia pacarku, mungkin ini adalah situasi teromantis. Dekapan erat dan sandarannya akan ku sempurnakan lewat kiasan kata-kata yang kubisikan manja ke telinganya. Ku usap-usap kepalanya, gengam tanganya sembari membahas tentang rembulan yang begitu setia menjalani malam.
Sayangnya, ini malam tentang hasrat, birahi dan ekonomi.
"Aduh maafkan aku mbak. Bukannya sok polos, akan tetapi malam ini, tak ada kenimatan lain yang ingin kunikmati,". Ku yakinkan dirinya agar mecari pria lain. Walau tawarannya barusan hampir mencopot iman.
"Ah abang ngak asik,". Jawabnya ketus sembari melepaskan pelukannya dan berjalan pergi tanpa menoleh. Aku hanya cekikan sembari melihatnya menjauh.