"Mari masuk, mau makan apa?", tanya seorang ibu saat saya memasuki warung berdinding papan.
Satu karyawan yang sedang menyusun piring kemudian buru-buru menyeka tangan lalu berdiri di depan saya sembari menanti apa yang akan saya pesan.
"Ada apa saja bu?", tanyaku penasaran dengan menu yang tersimpan di balik tirai. Namun sebelum melihat menu, segelas es teh sudah terlebih dulu membasahi kerongkongan karena dahaga tak tertandingi.
Sedari tadi, ku obral suara atas keingintahuanku pada pedagang dan nelayan di luar sana. Hingga lupa, ikan-ikan yang menjadi pilihanku yang nantinya akan berakhir di panci penggorengan dan menjadi hidangan di meja makan.
Tirai di buka, aroma rempah menyeruak hingga hidung mendobrak langit-langit hidung. Perut tak tinggal diam, ikut berdemo agar secepatnya menu-menu itu memenuhi lambung sebagai mekanisme kenapa ia diciptakan.
Mata bekerja meyakinkan diri agar memesan ikan cakalang yang tersisa sepotong, ngiler? Jangan ditanya, hampir saja ludahku tumpah takaruang.
Terlihat, sayur garu (daun singkong berbumbu), daun pepaya, sambal colo-colo melambai agar disertakan sebagai pelengkap.
Ingin rasanya saya penuhi semua menu ini ke dalam piring dan nasi yang sudah menggunung. Tapi, saya hanya ingin sepiring nasi dan sepotong cakalang goreng serta sedikit sambal.
Saya makan dengan gairah seperti orang kesurupan. Suapan pertama begitu nikmat, menggoyah lidah. Menarik kembali rasa yang sudah kebal karena makanan kota.
Saya jadi iri pada mereka, kawan-kawanku yang makan dengan lahap. Di Jakarta atau di Bogor, di warung pinggir jalan khasnya kelas mahasiswa. Mereka begitu menikmati sepotong cakalang yang "mati berkali-kali" itu dengan ejekan yang katanya lidahku tak nasionalis.
Saya nasionalis kok, hanya saja ketika ku tatapi cakalang yang tersaji, lidah tak mau berkompromi. Menolak dengan keras, toh penolakan lidah ini justru sejalan dengan slogan berbeda-beda tapi satu jua.