"Kalau kami ketahuan tidak memilih kandidat tersebut, maka kami akan dibuang ke daerah-daerah terpencil yang sulit di Akses, jauh dari keluarga bahkan kepangkatan tertunda' Ujar salah satu guru di pedalaman Halmahera sana.
Pada 9 Desember 2020 mendatang, pemerintah memutuskan menyelenggarakan Pilkada Serentak yang sebelumnya tertunda. Pilkada yang diikuti oleh 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi (Gubernur), 37 Kota (Walikota) dan 224 Kabupaten (Bupati) tentu saja merupakan angin segar. Mencari pemimpin baru dalam menahkodai daera masing-masing kedepan.
Setiap pasangan calon (Paslon) saat ini sedang berburu rekomendasi partai sebagai perahu demokrasi, sementara tim paslon mulai membangun kekuatan dengan membentuk tim pemenangan, tim relawan, garda dan lain-lain.
Pilkada serentak merupakan bagian dari demokrasi warga menggunakan haknya dalam menentukan siapa pemimpin yang layak menurut tanpa paksaan maupun godaan lainnya. Lantas bagiamana jika dalam menggunakan hak demokrasi kita justru di kekang?
Tulisan ini merupakan potongan-potongan cerita yang dialami oleh orang-orang yang tak sengaja di pertemukan dalam setiap perjalanan. Kebanyakan mereka ialah para, masyarakat, guru, aparat desa, bahkan PNS.
Pada tulisan sebelumnya (Dilema pendidikan di Pesisir) sudah disinggung sedikit tentang bagaimana politik menjalar ke dunia pendidikan. Kepala sekolah yang terpilih kebanyakan mempunyai relasi dengan kandidat atau pemenang konstestasi 5 tahun sekali itu.
Mereka-mereka yang tidak mengikuti karena menggunakan politiknya pada yang kalah sering terdepak dan terbuang hingga ke pulau-pulau terpincil. Bahkan,tak jarang bantuan-bantuan pada sekolah-sekolah maupun desa merupakan hasil penggunaan relasi tanpa mempertimbangkan apakah bantuan dan proyek-proyek tersebut bermanfaat.
Lantas bagaimana kisah mereka?
Pria Muda Mantan Aktivis.
Ia merupakan mantan aktivis salah satu organisasi kemahasiswaan saat masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Ia kembali dan mengabdikan diri menjadi guru.
Saat momentum Pilkada, ia tak mengikuti arahan kepsek. Kepsek berharap agar ia beserta staf lainnya memilih kandidat A. Namun, ia berpikir lain. Ia justru memilih kandidat B.