Lihat ke Halaman Asli

Reward; Dari Anda Untuk Anda

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang tentu memiliki penilaian atas apa yang telah ia lakukan. Setidaknya hanya itu yang dapat membedakan cara kerja manusia dengan mesin.

Terlebih bagi penulis sendiri, seringkali target dari aktivitas harian tidak kesampaian. Terlalu dini untuk mengatakan tidak mampu, di saat penilaian secara serius dan objektif tidak pernah dilakukan. Sejauh ini, hal tertuduh sebagai penyebab utama adalah tugas harian yang tidak dijalankan layaknya sesuatu yang penting, sekalipun pikiran sudah mendeklarasikan bahwa hal itu teramat penting.

Dalam kasus ini, penulis mencoba menempatkan diri sendiri sebagai bos sekaligus anak buah. Itu artinya, sebuah rencana adalah milik sendiri, dikerjakan sendiri, dipantau sendiri, termasuk dievaluasi sendiri. Ingat, sebelum kita berpikir terlalu jauh, tulisan ini hanya mencakup soal aktivitas harian. Apakah ini individualis? Penulis perlu tekankan bahwa kita semua sudah dewasa, pekerjaan ‘kita’ hanya dikerjakan oleh kita sendiri, tidak oleh kelompok.

Sudah cukup lama penulis terganjal gundah akibat terlalu santai dalam mengerjakan tugas harian – yang berimplikasi pada tidak tercapainya target harian. Padahal, beberapa saat sebelum tidur malam, penulis telah tetapkan dan tuliskan daftar pekerjaan esok hari. Pada proses ini, penulis tidak sama-sekali merasa ada yang berat. Tapi sayang, target tersebut hanya menjadi point-point yang mati, hampir mirip dengan patung malin kundang yang tersungkur di bibir pantai air manis.

Penulis melihat kasus ini adalah praktek buruk dan tidak baik untuk ditiru, terutama bagi penulis sendiri. Tapi jalan keluar tidak segera terbentang, dan memang tidak akan pernah datang tiba-tiba. Cara merubahnya pun bukan semudah mengcongkel sebuah benda yang tersempal di gigi berlubang, atau tidak segampang meberikan jabatan mentereng pada BG. Refleksi harus dilakukan secara lebih dalam dan rendah hati tentunya.

Tapi setidaknya – meskipun tidak dapat menjadi jawaban komprehenshif, ada hal menarik yang penulis temukan hari ini, tentunya berhubungan dengan keluhan di atas. Yakni membiasakan diri untuk ‘memberi reward pada diri sendiri’.

Penulis tersentak, darah terasa mengalir deras menuju otak saat mendengar penyiar salah satu reward diilustrasikan menjadi sesuatu yang besar dan serba mewah.

Bagi sebagian orang, secangkir kopi adalah kenikmatan. Demikian pula dengan musik, radio, kongko-kongko, menelpon pacar, dan seterusnya. Beberapa hal tersebut dapat dijadikan reward. Baru saja penulis coba praktekkan dengan membuat sebuah komitmen: tidak akan menyalakan rokok sebelum menyelesaikan tiga paragraf pertama tulisan ini. Dan ternyata behasil. Merokok pun terasa begitu nikmat, karena sedari awal ia diilustrasikan sebagai reward atas keberhasilan tertentu.

Untuk kopi dan rokok, penulis punya usul – silahkan dipertimbangkan dengan matang: jangan gunakan dua hal tersebut sebagai reward jika keduanya masih menjadi bagian dari kebutuhan kerja. Karena akan bahaya: tugas-tugas kita akan tersendat, bahkan bisa sampai terhenti olehnya. Tapi silahkan jika ada yang ingin memulainya justru dari hal-hal yang bersifat determinan seperti kopi dan rokok.

Selamat mencoba, semoga berguna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline