Lihat ke Halaman Asli

2017 Sebagai Tahun Kembalinya Masyarakat Indonesia kepada Agama

Diperbarui: 31 Desember 2016   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia, negeri kaya raya gundah gulana.

Sejumlah 280 juta penduduk Indonesia terancam tidak percaya dengan kondisi politik Indonesia. Carut-marut negeri yang menghiasi kaca televisi semakin memperuruk keadaan ini.” Apatis” menjadi kata yang terus digaung-gaungkan sekelompok mahasiswa bagi golongan yang cenderung tak peduli dengan politik. Menurut saya, ini adalah hal yang manusiawi saat media sering mengumbat-umbarkan keburukan negeri pertiwi. Hal ini diperparah dengan tindakan-tindakan tidak terpuji yang marak menghampiri. Oleh karena itu, catatan hitam Indonesia terus terisi dan semakin tebal.

Saya melihat bahwa pemuda Indonesia sudah meng-kacamata hitamkan kasus ini. Artinya, pemuda Indonesia sudah menghitamkan penglihatan mereka dari kasus ini dan mulai beralih ke penglihatan baru yang lebih menyegarkan.Salah satu penyebab penyegaran itu adalah kemudahan mobilisasi masyaraka asing ke Indonesia. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri seakan-akan kehadiran mereka mempertebal kaca mata hitam kita terhada kondisi negeri. 

Alasannya adalah masuknya budaya asing terhadap berbagai lini di Indonesia cenderung melemahkan budaya timur yang kental di Indonesia. Keterkaitannya adalah penyegaran ini akan terus mengkacamata hitamkan pandangan kita terhadap kondisi negeri baik karakter maupun sistem.  Makna viral-viralan menjadi senjata yang ampuh untuk menajamkan efek penyegaran ini. Hal ini semakin membuktikan bahwa masyarakat Indonesia semakin individualis dan berpotensi memiliki tingkat stress yang tinggi.

Saya tidak melarang asing untuk masuk ke tanah pertiwi. Tapi saya melarang proyek-proyek pelemahanmoral Indonesia yang seharusnya ramah, peduli dan jujur. Pemuda Indonesia harus sadar bahwa kita sedang dilemahkan nasionalisme dan keempatian kita terhadap kondisi bangsa. Bahkan, kasus mangkrak seperti Bank Century, Hambalang, dan lain-lain pun seakan-akan tenggelam oleh gemerlapnya lampu-lampu penyegaran tersebut. Media-media yang tidak netral semakin memperkeruh paradigma dan mengapatiskan masyarakat. Hal buruk menjadi hal biasa dan menempati tempat di daftar toleransi masyarakat. 

Solusi yang bisa kita tawarkan untuk membersihkan kacamata hitam ini adalah dengan kembali kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tuhan adalah Maha Penyegar. Kehadiran-Nya seharusnya menjadi benteng dari pelemahan moral bagi bangsa Indonesia. Kembali kepada-Nya harus menjadi sebuah keharusan ditengah negeri gundah gulana ini. Setiap agama pasti mengedepankan kedamaian dan kebaikan. 

Instropeksi diri dan berpikir logis berlandaskan agama pasti akan menuntun kita kepada kepedulian dan metode penyegaran yang lebih baik. Bahkan, kehadiran Tuhan seharusnya menjadi tempat mengadu yang lebih baik dibanding dengan manusia. Tuhan memang tidak kasat mata tapi kehadirannya begitu nyata dengan kekuasaan-kekuasaan yang diluar logika manusia. Oleh karena itu, saya harap hadirnya tahun 2017 bisa menjadi momentum untuk kembalinya kita kepada agama yang peduli dan damai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline