Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang dibuat untuk menata ulang birokrasi di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) termasuk menertibkan Ilegal Fishing dinilai cukup meresahkan para pengusaha dan nelayan.
Betapa tidak, menunggu waktu pembenahan sampai dengan April 2015 adalah waktu yang lama, karena kapal penangkap ikan eks asing tidak boleh beroperasi walaupun izinnya masih berlaku. Pasokan ikan ke unit pengolahan otomatis berhenti. Para pengusaha mempertanyakan siapa yang akan menanggung beban kerugian karena kapal mereka tidak diperbolehkan beroperasi selama moratorium ini sementara gaji pekerja diatas kapal harus tetap dibayar, demikian pula gaji karyawan di unit pengolahan ikan.
Pada moratorium itu tidak diperbolehkan lagi untuk mempekerjakan tenaga kerja asing diatas kapal penangkap ikan. Selama ini memang kapal-kapal penangkap ikan itu masih menggunakan ABK asing karena sangat sulit mendapatkan para pekerja lokal yang dikarenakan ethos kerja yang rendah untuk bekerja diatas kapal ikan.Sedangkan perusahaan yang digolongkan PMA (Penanaman Modal Asing) sudah pasti memiliki komposisi ABK asing karena joint venture tadi dan BKPM mengatur hal tsb.Paling tidak, dalam hal penggunaan tenaga kerja asing minimal ada 3 orang yang masih diperlukankan seperti kapten Kapal, fishing master dan teknisi mesin. Moratorium perikanan ini tidak memandang perusahaan lokal maupun perusahaan patungan luar negeri.Semua harus berhenti kecuali kapal yang mempekerjakan 100% orang Indonesia.
Penerapan penggunaan 100% tenaga kerja harus orang Indonesia, tentulah masih menyulitkan apalagi tidaklah mudah mencari tenaga kerja yang mau dan mampu bekerja di kapal ikan. Lalu bagaimana dengan Susi Air yang menggunakan Pilot Asing sementara Pilot Indonesia masih banyak yang membutuhkan pekerjaan.Apakah para Pilot Asing itu dikategorikan magang sehingga bayarannya lebih murah? Rasanya pak Jonan Menteri Perhubungan perlu juga mengatur ketenagakerjaan ini. Hingga kini evaluasi terhadap perusahaan juga belum dimulai.Lalu apa tujuan dari moratorium ini? Kurangnya sosialisasi membuat resahnya para pelaku usaha perikanan tangkap.
Moratorium ini sesungguhnya baik, karena bertujuan untuk menertibkan ilegal fishing, unreported dan unregistered. Tetapi kelihatannya kurang koordinasi dengan para stakeholder tentang kebijakan ini akan mengarah kemana. Apakah Menteri Susi pada waktu itu ingin membuat sensasi terlebih dahulu sedangkan urusan soal belakang? Suatu kebijakan yang tidak jelas hanya akan menimbukan keresahan dan akan menghambat kemajuan ekonomi.
Ketidak jelasan moratorium ini membuat kebijakan ini tidak seefektif yang diperkirakan dan berdampak buruk kepada pelaku usaha perikanan. Kapal penangkap ikan yang masih memiliki SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) yang masih berlaku, tidak mendapat izin berlayar karena terkendala pada penggunaan ABK tadi. Tenaga kerja asing sudah harus dipulangkan walaupun izin tinggalnya masih berlaku. Para pelaku usaha perikanan akan mengalami kerugian karena telah membayar surat izin yang telah dikeluarkan Keimigrasian tersebut karena tidak boleh mempekerjakan mereka selama moratorium ini. Saat ini seluruh kapal penangkap ikan khususnya eks kapal asing harus berhenti melaut baik yang di Bitung, Benoa dan Ambon.
Untuk hal lain yang dilarang adalah tidak boleh melakukan transhipment (bongkar muat dilaut) tanpa kecuali. Padahal sebenarnya dapat dikecualikan untuk kapal penangkap ikan Tuna yang harus segera diekspor supaya kualitasnya tetap terjaga.Fungsi pengawasan yang harus diperketat bukan dilarang.
Dampak lainnya adalah SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) yang telah dibayarkan ke Pemerintah sebagai PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) untuk setahun dinyatakan berhenti selama 6 bulan sampai dengan berakhirnya moratorium itu hingga bulan April 2015. Ini sama saja pemerintah mengambil hak para pelaku usaha perikanan yang seharusnya bisa melaut mencari ikan. Pemerintah harus segera berdialog dengan para stakeholder mengenai kebijakan moratorium ini dan apa langkah bersama untuk membuat negeri kita jaya di laut termasuk mensejahterakan para nelayan dan masyarakat pesisir.
Apabila hendak mendata ulang kembali, lakukanlah tanpa harus memberhentikan pengoperasian kapal penangkap ikan tersebut bagi yang masih berlaku izinnya. Pemeriksaan dapat dimulai pada kapal yang sudah mati izinnya dan menunda perpanjangannya selama moratorium demikian halnya pula pada perusahaan yang meminta izin baru.Pada akhirnya semua perusahaan akan mendapatkan gilirannya untuk diperiksa, bukan dihentikan semua kegiatannya. Ini sama saja mematikan usaha mereka.
Di negeri ini bila menyangkut urusan perut, rawan terjadi konflik. Kebijakan seperti ini tentunya akan menurunkan citra Indonesia dimata negara lain dalam berinvestasi di Indonesia.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H