Lihat ke Halaman Asli

Ogie Urvil

CreativePreneur, Lecturer

Frekuensi Ide

Diperbarui: 17 April 2024   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Sejarah penemuan telepon ternyata seru juga ya. Ada nama Elisha Gray. Dia ini penemu telepon juga, tapi kenapa kita lebih tahu-nya Alexander Graham Bell ? Simple, karena Bell lebih dulu mengambil formulir patennya. Bell berada di antrian lebih di depan saat mematenkan telepon temuannya daripada Grey.

Ada buku yang menyebutkan, mereka cuma berselisih sekitar 3 jam saja. Bell dapat antrian nomor 5, dan Gray nomor 39. Perbedaan ini yang menyebabkan Bell jadi pemilik paten penemuan telepon pertama. Konsep "jeroan" alatnya pun ada yang mirip-mirip. Sehingga Gray membawa hal ini ke ranah hukum, tapi dia kalah di pengadilan.

Urusan hukum itu lain cerita sih. Yang ingin saya catat adalah: nggak sedikit karya kreatif atau penemuan yang hampir sama, dihasilkan di waktu yang berdekatan, oleh orang yang berbeda dan di tempat yang berjauhan. Darwin dan Wallace juga begitu. Konsep mekanisme teori evolusi mereka berdua (seperti natural selection, survival of the fittest) disebut-sebut hampir sama. Padahal mereka meneliti sendiri-sendiri di tempat yang berbeda.

Di tahun 1920an, profesor dari Univeritas Columbia: William Ogburn & Dorothy Thomas mencoba meneliti fenomena ini, dimana ada penemuan-penemuan yang sama pada waktu yang berdekatan. Dan hasilnya: ada sekitar 148 penemuan dengan beragam tema yang mirip-mirip, yang dihasilkan secara terpisah dalam waktu yang berdekatan.

Pernah denger istilah "Zeitgeist" ? Ini bahasa Jerman, yang kalau di-english-kan menjadi "Spirit of The Age", dan bahasa Indonesia-nya sebut saja "Semangat Zaman". Makna sederhananya: setiap zaman merupakan "wadah" bagi para individunya untuk melakukan eksplorasi atas apapun yang tersedia pada zaman tersebut.

Bell dan Gray tidak akan jadi penemu telepon seandainya mereka lahir 50 tahun lebih awal, karena teknologi di zaman itu belum bisa menopang penemuan mereka. Facebook dan Instagram juga mungkin nggak akan setenar sekarang kalau era internetnya masih lemot dan jika selfie-selfie muka kita masih belepotan pixel-pixel RGB.

Pesannya sih: jangan berpikir kita akan kehabisan ide untuk eksplorasi, atau menghasilkan karya kreatif, atau mengisi sebuah zaman dengan hal-hal yang baru. Karena setiap zaman pasti akan menyediakan "wadah"nya.

Zeitgeist ini beririsan dengan kreativitas dari perspektif Tasawuf yang menjadikan Tuhan sebagai sumber kreativitas. Tuhan selalu "menyiarkan" gelombang-gelombang-Nya, dan manusia hanya bisa menjadi "antena" saja. Menurut Wilcox (1995) dalam "Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf": bila waktu dan situasinya cocok, dengan akal kuat & batin yang terlatih, "antena" individu yang sudah siap bisa menangkap frekuensi-frekuensi tersebut. Dan terciptalah sebuah karya kreatif.

Senada dengan apa yang dikatakan oleh Tesla: "If you want to find secrets of the universe, think in terms of energy, frequency, and vibration."

Cuman ya saya bingung, bagaimana penjelasan dan cara "tune-in" ke frekuensi-Nya ?  Tapi pernyataan dari Wilcox cukup menghibur: "Tasawuf bukanlah penjelasan, melainkan pencarian dan penelusuran jalan menuju makna, jalan menuju keterhubungan dengan Sumber Cahaya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline