Pada Olimpiade Tokyo 2021 kemarin, muncul beberapa nama saintis yang berhasil meraih medali. Yang cukup mencolok itu Anne Kiesenhofer dari Austria. Seorang Ph.D matematika terapan, peneliti sekaligus dosen. Tapi siapa sangka, wanita 30 tahun ini 'galak' saat meng-genjot sepeda. Saking galaknya, medali emas di nomor Road Race disabetnya.
Ini WOW banget !! Karena ya beda jauh kan 'medan perang'nya. Kalau saintis kebanyakan menghabiskan waktu di ruangan ataupun laboratorium, dan kalau olahraga ya di lapangan. Yang satu lebih ke otak, satunya lebih ke otot. Muncul juga beberapa nama sainstis lain, namun mereka gagal meraih medali. Tetep aja sih, buat saya pribadi, seorang ilmuwan bisa berlaga di Olimpiade, itu luar biasa.
Jadi kepikiran bagaimana mereka itu 'memandang' dirinya sendiri. Umumnya, seseorang memandang atau melabelkan dirinya berdasarkan latar belakang pendidikan (gelar), yang kemudian bisa 'berfungsi' di dalam pekerjaan (jabatan / profesi).
Atau banyak juga yang melabelkan dirinya berdasarkan apa yang paling banyak dilakukan dalam hidupnya, atau pekerjaannya selama ini, walaupun tanpa pendidikan formal. Kan ada pengusaha, atau trader tanpa 'sekolah'. Tapi karena 'kesehariannya' di situ, ya jadi cocok deh.
Ada istilah 'Functional Fixedness' dalam teori kreativitas. Sebuah bias pikir yang menghambat seseorang dalam menghasilkan ide-ide baru yang inovatif. Sederhananya, functional fixedness adalah kecenderungan untuk memandang sebuah objek hanya bisa 'bekerja' atau berfungsi pada satu cara aja. Biasanya terkait dengan pengetahuan lama yang dimiliki seseorang. Contoh gampangnya: kursi ya buat duduk, remote TV ya buat gonta-ganti channel TV, dsb. Padahal fungsi tersebut bisa dilampaui. Misal: kursi jadi 'tank maenan' (Seperti yang anak saya lakukan), dan remote TV jadi ganjelan pintu. Melampaui functional fixedness adalah melihat lebih jauh, atau menerobos pengetahuan lama seseorang.
Bagi saya pribadi, saintis sekaligus atlet seperti si Anne di awal postingan, adalah orang yang berhasil melihat dirinya sendiri melampaui functional fixedness. Ia tidak melabelkan dirinya hanya dari satu 'fungsi' background pendidikannya (gelar) dan profesinya (jabatannya) saja. Ia melihat 'fungsi' / potensi lain di dalam dirinya, dan memilih untuk mencoba mengembangkannya. Hebatnya, dia mau bekerja keras lagi dari nol untuk membuat potensi tersebut 'terbangun megah'.
Bias pikir functional fixedness ibarat "jebakan Batman". Seseorang bisa menjadi 'fix terbelenggu' melihat dirinya sendiri dari pengetahuan masa lalunya saja. Membuat malas belajar hal-hal baru, dan ujung-ujungnya menjadi enggan melihat & mencari potensi-potensi diri yang baru.
Banyak yang lupa bahwa akal manusia adalah 'mesin belajar'. Dan belajar kan bisa apapun, asalkan mau. Belajar merupakan cara manusia sejak zaman dahulu untuk 'berkembang' pada banyak hal dan membangun peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H