Lihat ke Halaman Asli

Ogie Urvil

CreativePreneur, Lecturer

Skeptis Sedikit

Diperbarui: 30 Agustus 2023   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Ternyata otak kita cenderung lebih mudah untuk langsung percaya kata-kata orang lain ketimbang mempertanyakannya dulu. Gimana nggak, karena setelah lahir, ada masa (bertahun-tahun malah) dimana seseorang mau nggak mau mesti percaya katanya orang tanpa bisa cek and ricek. Beberapa tahun awal setelah lahir, mana bisa seseorang langsung baca buku sains untuk meng-konfrontir kata-kata dari orang lain ?

Newberg & Waldman dalam bukunya "Born to Believe" (2013), menyebutkan, dari satu sisi, otak orang dewasa itu seperti anak-anak: gampang percaya dengan perkataan orang lain, terutama jika hal tersebut menarik bagi fantasi dan hasrat terpendamnya. Di Indonesia yang indeks minat bacanya rendah, yang seperti ini berasa banget. Banyak sekali yang bersandar pada "katanya" atau opini si A, atau si B, ketimbang memilih cek fakta dengan membaca-baca sendiri, atau mencoba menelaah terlebih dahulu bukti-bukti yang jelas. Maka, berita dari website abal-abal pun tidak jarang dipercaya begitu saja dan di share secepat kilat.

Yang jadi masalah adalah saat kita sulit untuk melepas sifat percaya begitu saja atas apa yang "masuk" ke kita. Terlebih di era keterbukaan informasi begini. Newberg adalah seorang profesor dan spesialis di bidang kedokteran nuklir, dan kardiologi nuklir. Sedangkan Waldman merupakan partner beliau yang telah menulis sejumlah buku mengenai hubungan personal, kreativitas, sekaligus editor pendiri jurnal akademis "Transpersonal Review" yang mencakup bidang psikologi Jungian, kajian keagamaan, dan pengobatan pikiran / tubuh.

Menurut mereka di era sekarang ini sebaiknya seseorang juga melatih diri untuk bisa bersikap sedikit skeptis. Filosofi skeptisisme berawal dari zaman Plato, yang pertama kali menegakkan mazhab akademis. Seorang skeptis adalah orang yang memilih untuk mempelajari kembali dengan seksama apakah keyakinannya sudah benar atau belum. Ia akan senantiasa menjaga pikirannya tetap terbuka (bersedia mempertimbangkan argumen dari kedua sisi).

Skeptisisme, keterbukaan pikiran, dan rasa percaya dalam dosis yang tepat sepertinya memang perlu di saat siapa saja, serta 'segalanya' bisa di-share di medsos sekarang ini. Terlebih kalau apa-apa yang di share itu membuat seseorang berasumsi mengenai masalah-masalah moral, politik, dan agama. 

Terbuka dan percaya begitu saja tanpa sedikit skeptisisme bisa menimbulkan masalah baru. Namun skeptis tanpa rasa percaya bisa merusak kemampuan seseorang untuk mempercayai apa-apa yang perlu supaya bisa hidup normal.

Skeptis jika diimplementasikan berlebihan, semua ide, gagasan baru, dan perubahan nggak akan dianggap oke meski ide baru masih berada di tahap awal. Bahkan kalau sudah parah, skeptisisme bisa mengarah pada sinisme, yakni keadaan dimana seseorang selalu meragukan ketulusan dan validitas sudut pandang orang lain. Para psikiater dan kardiolog pun setuju, bahwa hal ini bisa membawa seseorang kepada kemarahan, keketusan, kebencian, penghinaan dan akhirnya bisa berakibat buruk pada kondisi fisik seseorang. Jadi, skeptislah secukupnya saja.

"Scepticism: the mark and even the pose of the educated mind." - John Dewey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline