Lihat ke Halaman Asli

Priandona Ogansyah

Melampaui setengah abad usia

Makmumnya Mana? (Ghaib)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Medio tahun 1993, aku mendapat tugas KKN (Kuliah Kerja Nyata) di suatu kawasan terpencil di Punggung Bukit Barisan nun jauh di pedalaman Sumatera.  Desa tempat posko kami adalah desa yg paling ujung dari jalan hasil swadaya masyarakat dan AMD (ABRI Masuk Desa)  yang masih berupa tanah liat nun di atas bukit. Suasana desa masih terbelakang, tidak ada listrik maupun sanitasi yg layak disana. Penduduk masih MCK di sungai yg syukurnya masih jernih dan alami. Lokasinya jauh dari kota kecamatan dan akses kendaraan yang hanya ada 2 hari sekali, itupun bila tidak hujan. Sebab bila hujan mengguyur, maka jalan akses ke desa-desa terpencil itu menjadi tidak bisa dilalui oleh kendaraan modern, makin membuat desa ini terpencil.

Desa tempat kami bertugas rupanya terkenal dari dulu kala sebagai desanya "orang pintar", konon katanya semua penduduk di desa ini memiliki kemampuan supranatural baik yg bisa menyembuhkan bahkan bisa untuk mencelakakan orang. Namun kami para mahasiswa yg saat itu masih idealis tetap yakin bahwa hidup mati ada di tangan Tuhan serta rezeki dan bencana datang dari Lidah dan Perilaku.

Kami terdiri dari 8 orang mahasiswa dari fakultas yg berlainan, 4 orang wanita dan 4 orang pria. Kami tinggal di rumah salah seorang tetua desa yg disegani namun ramah sekali. Selama menjalankan tugas-tugas sebagai mahasiswa KKN banyak pengalaman diluar nalar yg kami lihat dan dengar, namun saat ini aku akan ceritakan tentang salah satu pengalamanku ber-"singgungan" dengan alam lain.

Suatu malam seusai menghadiri suatu acara adat di desa bawah (karena desa kami berada di atas bukit dan satu-satunya), kami pulang dengan perut kenyang dan riang gembira karena baru saja mendapat suguhan hidangan yg lezat dan acara adat yg bagi kami sangat unik dan langka bisa dilihat di kota. selain itu kami bisa bertemu rekan-rekan mahasiswa yg bertugas di desa-desa lain yg kebetulan juga di undang menghadiri acara besar utk ukuran daerah itu. Kami para mahasiswa pria sepakat, malam ini akan tidur di Surau (Langgar/mesjid kecil) karena sungkan utk cekakak-cekikik di posko yg juga rumah tetua desa.

Setelah lelah cerita ngalor-ngidul, maka kami ditemani beberapa pemuda desa akhirnya tertidur pulas di surau. Seperti biasa tubuhku akan terjaga saat waktu subuh menjelang dan kulihat teman-temanku masih pulas tertidur. Ditemani lampu teplok yg ada aku pergi berwudlu dan mengumandangkan azan walau tanpa pengeras suara. Selesai azan aku goyang-goyangkan tubuh teman-temanku utk sama-sama menunaikan sholat subuh, mereka hanya menggeliat sesaat lalu tertidur kembali atau ada beberapa yg mengatakan "Duluan saja sebentar lagi kami menyusul." sambil menarik sarungnya menutupi kepala.

Aku berdiri di depan mihrab dan mulai melaksanakan sholat dengan suara agak dikeraskan agar teman-temanku segera terjaga dan ikut berjamaah. Dan aku merasa lega karena saat usai membaca surat Al Fatihah terdengar suara "Amiiin" cukup ramai namun lamat-lamat terdengarnya. "Syukurlah teman-temanku sudah terjaga, walau suaranya agak kurang semangat", kata hatiku selintas.

Aku lanjutkan prosesi sholat dengan perasaan bahwa di belakangku ada beberapa orang makmum yg tengah mengikutiku sholat berjamaah, terbukti dengan saat roka'at kedua kembali terdengar suara orang yg melafazkan "Amin" di belakangku dan suara seperti berbisik-bisik layaknya orang sedang membaca ayat-ayat. Namun betapa Tercekat hatiku saat aku mengucapkan Salam seraya menolehkan kepala kekanan dan kekiri (agak kebelakang), aku tidak melihat satu orang pun yg menjadi makmum dibelakangku alias kosong melompong. Bulu kudukku berdiri sambil memperhatikan teman-temanku yg kuhitung dan benar semuanya masih tertidur. Subhanallah..!!

Aku percaya DIA lah yg maha mengizinkan segala sesuatu terjadi, namun pengalaman itu masih sangat membekas di hatiku sampai saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline