Lihat ke Halaman Asli

Yoga Pratama Tarigan

calon imam diosesan medan

Pria Itu Ayahku

Diperbarui: 1 Maret 2019   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.reference.com/

"Orang yang dulu pernah kukagumi kini hanya menjadi sebuah bundelan kenangan"

Hari ini tepat hari ulang tahun kematianmu yang ketiga puluh tahun. Ya... waktu yang cukup cepat bagi orang yang berbuat banyak dan waktu yang cukup lama bagi orang yang menganggur. Tergantung sudut pandang yang memandang. Dan bagiku, kau baru mati kemarin senja. Senja hari di mana kau hanya diam menikmati kesunyian dan menertawakan orang-orang kampung yang masih kampungan ini. Dan setelah tawamu reda nafasmu pun ikut-ikutan mereda.

Kau mati dalam tawamu yang sebenarnya kamuflase dari frustrasimu akan cara pikir warga kampung ini yang masih dalam taraf kampungan. Pengabdianmu dan integritasmu ternyata tak cukup untuk mengubah masyarakat kampungan ini menjadi masyarakat modern. Mimpimu untuk memajukan kehidupan masyarakat ini hanya sebuah utopis belaka. Sebelum meninggal kau mengatakan beberapa patah kata yang masih terngiang jelas dalam telingaku, "Jhon, sepertinya aku terlalu cepat dilahirkan ke muka bumi ini. Mereka belum siap akan ide-ide brilliant yang kumiliki."

***

Masih terekam jelas dalam memoriku dan mungkin memori seluruh masyarakat kampung ini yakni; sebelum kau menjadi kepala desa, tempat ini hanya sebuah kumpulan manusia yang hidup sekadar hidup apa adanya. Tak ada perkembangan dan perubahan apalagi kemajuan. Semua masih bersifat kampungan, mulai dari cara berpikir, cara berbicara, cara berpakaian dan sebagainya.

Sungguh memprihatinkan rasanya tinggal bersama kumpulan manusia yang bermental sekadar numpang hidup. Semua dikerjakan hanya dengan otot dan insting, tidak  dengan otak. Salah satu kegiatan yang menjadi sorotan utamamu ialah ketika setiap orang harus berjerih lelah untuk mengambil beberapa liter air ke pegunungan yang berkilo-kilo meter jauhnya.

"Ini pemborosan tenaga dan waktu, kita harus cari cara agar air itu yang datang kemari bukan kita yang datang ke sana!" ungkapmu padaku.

Mimpimu itu pun terealisasi ketika kau terpilih menjadi kepala desa. Para warga setuju dengan idemu untuk membuat saluran pipa agar mereka tak perlu berjerih lelah hanya untuk mendapatkan beberapa liter air bersih. Berkilo-kilometer pipa-pipa pun disambung dan ditanam. Mulai dari pegunungan tempat mata air itu berada; melalui perbukitan, sawah di lembah, hingga akhirnya sampai di kampung asri ini.

Hanya uang tiga ribu rupiah sebulan menjadi petanda partisipasi perbaikan sana-sini. Tak perlu bahan bakar pengalir air. Prinsip fisika kau konkretkan yakni, air selalu mengalir ke tempat rendah. Proyek ini pun selesai dengan cepat sehingga para warga tak perlu cemas untuk mendapat air bersih; mencuci badan, baju, beko, cangkul, hingga memandikan kerbau. Pembutan pipa ini sungguh memberi manfaat yang berkelanjutan, jika dulu jam bekerja terpaksa berkurang karena mengambil air kini mereka dapat bekerja sepuasnya sehingga produktivitas pun meningkat.

Kebersihan kampung ini pun terjaga karena para warga tak perlu khawatir akan persediaan air jika hendak melakukan bersih-bersih. Kesehatan para warga pun ikut membaik. Sebelumnya kampung ini terkenal dengan julukan kampung kurapan karena banyaknya warga yang mengidap penyakit kurap. Penyebab utamanya hanya satu yakni jarang mandi karena persediaan air bersih sangat terbatas. Akan tetapi itu semua menjadi bundelan kenangan karena sekarang mereka dapat membersihkan badannya sebersih yang mereka inginkan.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline