Polarisasi koalisi menjadi dua kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah hal baru dalam era reformasi. KMP yang merupakan partai pendukung Prabowo – Hatta head to head dengan KIH yang merupakan partai pendukung Jokowi – JK. KMP pun terus bertahan hingga satu per satu anggotanya memilih untuk bergabung dengan KIH.
Keberadaan koalisi permanen KMP ini memiliki nilai positif, dengan begitu mekanisme checks and balances oleh DPR terhadap pemerintah dapat dilakukan secara optimal. Dengan komposisi kursi KMP sebanyak 56,5 persen sedangkan KIH sebanyak 43,5 persen membuat konfigurasi partai dalam mengawasi pemerintah relatif lebih seimbang.
Sejak terbentuk, keberadaan dua kubu koalisi ini diragukan dapat bertahan lama. Anggapan ini muncul karena koalisi permanen sangat sulit terjadi karena banyaknya kepentingan partai. Anggota koalisi oposisi rentan untuk pindah menjadi partai pendukung pemerintah. Koalisi transaksional masih kerap melanda politik Indonesia dengan imbalan jabatan kursi menteri serta jabatan strategis lainnya.
Belakangan anggapan itu ada benarnya, PAN dan Golkar sejak awal merupakan bagian dari KMP baru-baru ini mendapatkan kursi Menteri PAN-RB dan Menteri Perindustrian pada Reshuffle Jilid II. Pada awalnya PAN berkilah tetap di KMP dengan tetap mendukung pemerintah, tapi hal ini menimbulkan sikap ambigiutas, tidak jelas, dan samar bentuk koalisi yang bagaimana yang ingin dijalankan PAN. Sementara koalisi pemerintah dan oposisi adalah dua kutub yang saling bertolak belakang. Koalisi di dua kaki hanya akan menimbulkan kegaduhan di pemerintahan dan parlemen.
Sementara Golkar yang didera konflik dualisme kepengurusan pasca Munaslub, mengubah haluan mengikuti langkah PAN keluar dari KMP dan bergabung dengan KIH. Jauh sebelum Munaslub, sangat kental aroma intervensi pemerintah dalam konflik dualisme kepengurusan Golkar.
Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Surat Keputusan mengesahkan salah satu kepengurusan yang sedang bersengketa yaitu kepengurusan Agung Laksono. Menkumham telah melanggar UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan mengesahkan salah satu pengurus yang bukan kewenangan pemerintah.
Undang-Undang partai politik tidak mengatur mengenai campur tangan pemerintah baik itu untuk penyelesaian perselisihan pengurus partai politik maupun instrumen hukum lainnya. Undang-Undang mengamanahkan agar perselisihan pengurus yang terjadi hendaknya diselesaikan oleh mahkamah partai dalam internal partai sendiri berdasarkan AD-ART partai sebagai mana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011. Undang-Undang ini hanya mengatur peran Menkumham dalam pendaftaran yang bersifat administratif dengan mengluarkan keputusan menteri.
Undang-undang juga memberikan alternatif, bila penyelesaian perselisihan partai tidak juga dapat diselesaikan secara internal maka penyelesaian perselisihan diselesaikan di pengadilan negeri. Dimana putusan pengadilan negeri sebagai putusan pertama dan terakhir, dan dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Koalisi dalam konstitusi
Konstitusi tidak menyebutkan kata “koalisi” dalam pasal-pasalnya. Namun dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) menyatakan Presiden dan atau Wakil Presien diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.