Lihat ke Halaman Asli

Ofis Ricardo

Pengajar Hukum Tata Negara; Advokat - Kurator kepailitan

Perda dan Representasi Suara Rakyat

Diperbarui: 19 Juni 2016   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo mencabut 3.143 Perda yang diduga kontroversial. Pemicunya ialah pemaksaan aparat Satpol PP menutup sebuah warung makan di Kota Serang, Banten. Dasar hukum tindakan Satpol PP ini ialah Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulan Penyakit Masyarakat (Perda 2/2010) dimana salah satu pasalnya melarang pengusaha restoran (warung makan) berjualan pada siang hari selama bulan Ramadhan.

Langkah kontroversial Jokowi ini pun sontak mendapat pendapat beragam kalangan umat Islam. Pemerintah dianggap gegabah dalam mencabut perda-perda tersebut tanpa melakukan kajian dan riset mendalam. Pencabutan perda-perda tersebut begitu cepat dibandingkan pembuatan Perda itu sendiri yang dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan.

Dasar pencabutan Perda 2/2010 pun sangat sumir. Alasan pencabutan Perda hanya didasarkan pada tindakan razia aparat Satpol PP terhadap pengusaha rumah makan yang tetap buka siang hari di bulan Ramadhan.

Pemerintah sangat memaksakan menjadikan alasan ini untuk mencabut Perda lainnya yang sama sekali tidak berkaitan dengan permasalahan inti razia warung makan. Bahkan hampir semua Perda tersebut tidak terkait langsung dengan larangan menjual makanan di bulan Ramadhan.

Aspek sosiologis Perda

Keberlakuan hukum tidak terlepas dari pengaruh aspek sosiologis masyarakat setempat seperti agama, suku, budaya serta adat istiadat. Sebuah peraturan dapat efektif diterapkan di suatu daerah, namun dapat tidak efektif bila diterapkan di daerah lain. Menurut Satjipto Raharjo penggunaan hukum oleh masyarakat merupakan wilayah sosiologis di mana masyarakat memberi pemaknaan sendiri terhadap hukum dan itulah yang mereka jalankan.

Dalam kutipan Satjipto Raharjo yang sangat populer mengatakan “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Kutipan ini dapat dimaknai keberlakukan sebuah norma hukum didasarkan pada kondisi sosiologis dari masyarakat dimana hukum itu diberlakukan.

Kondisi sosiologis menjadi penting untuk diperhatikan untuk mengukur efektifitas keberlakuan suatu norma hukum dalam masyarakat. Masyarakatlah yang akan menggunakan hukum tersebut, sehingga menjadikan aspek sosial masyarakat menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dengan hukum itu sendiri.

Sifat keberlakuan sebuah peraturan perundangan-undangan memiliki sifat lokalistik. keberlakuan sebuah peraturan perundang-undangan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup peraturan tersebut. Sesuai dengan teori Piramida Terbalik dari Hans Kelsel mengatakan norma hukum yang paling rendah keberlakuan nya pada lingkup yang lebih kecil, dan norma hukum yang lebih tinggi keberlakuannya pada lingkup yang lebih luas.

Pemberlakuan Perda 2/2010 hanya berlaku di Kota Serang, sifat lokalistik pemberlakuan Perda 2/2010 seharusnya tidak mempengaruhi keberlakukan Perda di daerah lain yang secara wilayah administrasi berbeda dengan Kota Serang. Namun pada kenyataannya perda-perda tersebut tetap dicabut oleh pemerintah dengan bersandar pada tindakan Satpol PP yang merazia warung makan di Kota Serang. Padahal perda-perda tersebut tersebar hampir di tiap Provinsi di Indonesia yang sama sekali tidak terkait dengan wilayah administrasi Kota Serang.

Representasi suara rakyat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline