Lihat ke Halaman Asli

Ofis Ricardo SH MH

Akademisi, Pushardem, Advokat PKPU dan Kepailitan, Kurator - Pengurus

Deparpolisasi dalam Politik Indonesia

Diperbarui: 14 April 2016   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana anti terhadap partai politik (parpol) selalu muncul di saat menjelang suksesi politik seperti pemilu dan pilkada. Alasan anti parpol pun beragam, mulai dari kekecewaan publik atas kinerja kader parpol di eksekutif dan legislaitf, hingga kasus sejumlah kader parpol yang terlibat korupsi.

Deparpolisasi berarti upaya untuk mengurangi jumlah parpol. Namun akhir-akhir ini terjadi pergeseran makna dimana deparpolisasi diartikan sebagai gejala sosial dimana masyarakat anti terhadap parpol.

Kekecewaan masyarakat ini mengakibatkan menurunnya simpati publik yang berakibat munculnya gerakan deparpolisasi di masyarakat. Umumnya pendukung deparpolisasi mengklaim sebagai kelompok independen yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh parpol.

Di DKI Jakarta misalnya, deparpolisasi dimotori oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok yang saat Pilgub DKI tahun 2012 didukung oleh PDIP dan Partai Gerindra, berbalik badan menjadi anti parpol. Deparpolisasi bagi Ahok memang bukan hal baru, Ahok kerapkali berseberangan dengan DPRD DKI Jakarta yang notabene berisikan kader-kader parpol.

 

Parpol dalam konstitusi
UUD 1945 setelah amandemen menyebut kata “partai politik” sebanyak lima kali yaitu pada Pasal 6A ayat (2) sebanyak dua kali, Pasal 8 ayat (3), Pasal 22 E ayat (3), serta Pasal 24 C ayat (1). Pasal-pasal ini khusus mengatur mengenai peran partai politik dalam pemilu legislatif dan pilpres, serta kewenangan Mahkamah Konstitusi membubarkan parpol.

Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang tidak menyebut sekalipun kata “partai politik”. Implikasi dari hal ini ialah peran parpol di masa UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak sekuat setelah amandemen. Perubahan ini pun juga terjadi pada DPR dan DPRD yang saat ini memiliki kewenangan yang sangat besar bila dibandingkan dengan sebelum amandemen.

Dalam hal pencalonan pileg, pilpres dan pilkada misalnya, peran parpol sangat dominan dalam menentukan para calon yang akan bertarung. Parpol satu-satunya pintu masuk untuk menjadi caleg ataupun calon presiden, walaupun untuk pilkada calon untuk perseorangan belakangan hadir namun tanpa menghapus calon melalui parpol.

Dalam Pasal 24 C ayat (1) secara spesifik menyebutkan bahwa Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal ini menegaskan keberadaan parpol sebagai organ vital dalam menjaga keberlangsungan lembaga negara DPR maupun DPRD. Pasal ini sebagai pengakuan konstitusi bahwa parpol sebagai satu-satunya tempat penyaluran partisipasi politik rakyat.

Fungsi parpol
Secara teori, parpol merupakan instrumen dalam menyalurkan partisipasi politik. Keberadaan parpol sebagai sebuah keharusan dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, terlebih dalam kondisi heterogenitas dan banyaknya penduduk Indonesia membuat keberadaan parpol tidak dapat dielakkan.

Eksistensi keberadaan parpol dalam politik modern saat ini dilatarabelakangi oleh demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang kian mengemuka. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat serta permasalahan sosial yang makin meluas membuat keberadaan parpol sebagai sebuah keharusan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline