[caption caption="Sosok Efendi Situmorang (dok:Pribadi)"][/caption]
Jakarta tak seterik biasanya saat itu, mentari tak sedang menyengat, berganti dengan mendung menggelayut dengan menitikkan bulir-bulir gerimis, menjadikan jalanan sedikit jauh dari penat. Terik, macet, keringat adalah sebagian wajah jalan Jakarta bisa menjadikan hari yg penat secara paripurna, tandas sudah. Kata temanku, neraka bocor, untuk menggambarkan kepenatan semacam itu. Emang ban kendaraan bisa bocor?
Rintik gerimis kali ini mengganti makna basah oleh keringat, ya basah gerimis, tepatnya tidak basah kuyup, basah yang nyemek-nyemek kecil saja tak sampai bikin basah kebes. Tapi temanku tak mau menyebut kondisi ini neraka yang sudah ditambal alias sudah tidak bocor, apalagi menyebut kondisi ini sebagai angin surga. Angin surga itu angin yang keluar dari mulut harimau, eh, mulut anggota legislatif yang lagi kampanye, itu namanya angin surga, katanya menegaskan. Ah, apasaja katamu kawan. Apa peduliku.
Gerimis ini nyatanya tak jadi lampu merah yang aku tunggu tak selama biasanya, angin lebih sejuk berhembus melewati sela-sela helm dan jaketku. Aku nikmati saja gerimis dijalan ini, sambil mengenang masa kecil yang riang ketika bertemu hujan. Amboi, andai aku bisa kembali kemasa itu. Lampu hijau didepan telah menyala, gas poll saja motorku. Bremmm!!!
Selepas beberapa meter berjalan, motor seperti hilang keseimbangan, ngepot-ngepot tak keruan. Ah, ini gejala ban bocor, pasti. Benar saja, neraka memang sedang tak bocor tapi ban roda belakangku? Bocor! Tentu saja yang tadinya stel gas poll berubah menjadi stel gas kendo, ngelokro, sambil lambat laun menepi disisi jalan. Entah, konon tangan tuhan mengatur sedemikian rupa terhadap kejadian, kok ya didepan seiring menepinya motor ada kang tambal ban. Alamak, Jakarta yang bersahabat, pucuk dicinta ulam pun tiba pikirku.
Mungkin memang tangan tuhan telah mengatur rentetan kejadian yang mengijinkan aku mendengar monolog Efendi Situmorang, begitu kang tambal ban ini mengaku, lahir di Medan, 58 tahun silam. Menginjakan kaki di Jakarta sejak jaman gubernur Ali Sadikin. Telah menjalani serentetan profesi okupasi diberbagai bidang, mulai dari kernet, supir, pengepul daging babi yang katanya waktu itu 300 perak per kilo hingga jadi buruh angkut yang mengakibatkan jari telunjuk kanannya diamputasi karena ketiban plat besi ketika memasok kebutuhan bahan baku PT. Pindad.
"Tambal ban pak" begitu saja kalimat yang aku katakan pada beliau untuk menambal ban belakang motor yang bocor. Gerimis kecil masih saja berlangsung dan semakin mengecil rintiknya. Seiring pak Efendi yang ngoprek ban bocor, seperti biasa menunggu adalah waktu yang membosankan, smartphone bisa jadi jalan untuk membunuh waiting time. Menjelajah sosmed, membuka tautan-tautan berita termasuk mengamati artikel kompasiana. Sedang asyik-asyiknya menjelajah lewat smartphone, tiba-tiba.
"Sekarang cari teman susah gak kaya dulu, sekarang orang sibuk sama hendpon, apa-apa lewat henpon" What? Seketika mataku mendelik kaget mencari sumber suara. Mengamati sekitar, cuma ada pak Efendi. Secepat kilat aku paham maksud Pak Efendi, menutup smartphone. Sambil senyum, langsung saja aku lontarkan satu kalimat ke Pak Efendi, Sudah lama pak disini? (Maksudku bertanya sudah berapa lama nambal ban dilokasi itu).
Beliau menjawab tak cuma panjang tapi kali lebar kali lagi dengan tinggi, ruah sudah jawabannya. Ada Ali sadikin, ada uang 20.000 rupiah saja untuk sampai ke Jakarta dari Medan dan lain-lainnya. Oww, timpalku, langsung mengubah muka jadi takjub, wajah polos seolah-olah kagum, pasang muka antusias untuk mengapresiasi sikap keterbukaan dan bersahabatnya. Aku semakin paham pak, lanjutkan, aku akan jadi pendengar yang baik.
Entah kenapa hari itu seolah ocehan pak efendi menjadi narasi monolog, mulai dari opini, deskripsi, protes, keluh-kesah, semuanya. Hanya dengan tetap memasang wajah yg semakin antusias, memainkan raut muka sebagus-bagusnya untuk mengapresiasi, tanpa harus mengerluarkan pertanyaan-pertanyaan, monolognya kian berapi-api penuh semangat.
Mulai dari masalah narkoba, yang konon telah mengubah seorang tetangganya seperti dead man walking, bahkan beberapa tetangga dan pelajar dilingkungannya gemar mengkonsumsi narkoba yang kemudian dikaitkan dengan buruknya aparat penegak hukum, lha masa aparat yang seharusnya memberantas malah tertangkap jadi bandar narkoba? Begitu dia menjelaskan. Masalah harga beer yang dulu cuma 600 perak, yang dikaitkan dengan harga-harga barang saat ini, sekarang, yang relatif lebih mahal. Sekarang tambah susah, katanya menegaskan.