Lihat ke Halaman Asli

Keselamatan Masyarakat Rempang dan Cagar Budayanya

Diperbarui: 21 September 2023   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rempang, atau pulau Rempang di Batam Kepulauan Riau masih mencuat dan terus menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Penolakan terus terjadi dari masyarakat terhadap kebijakan relokasi atas pembangunan Rempang Eco-City yang digadang-gadang sebagai proyek strategis pemerintah skala nasional.

Relokasi menjadi kebijakan yang terus menerus menjadi andalan pemerintah untuk memberikan solusi yang sama-sama menguntungkan. Namun bagi masyarakat, relokasi merupakan hal yang tidak mudah baik secara psikologis maupun secara budaya. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain justru akan menimbulkan polemik baru, seperti fasilitas dan akses ekonomi, perubahan mata pencaharian, struktur tanah yang berbeda dengan sebelumnya, mengakibatkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi tidak produktif, perubahan budaya dan bahkan kehilangan cagar budaya setempat.

Pembangunan di wilayah Indonesia memang pada hakikatnya ditujukan untuk mengangkat perekonomian masyarakat sekitar, sehingga sangat perlu menjadi perhatian semua pihak. Hal ini juga berkaitan erat dengan cita-cita Republik Indonesia yang diamanatkan di dalam Alinea keempat UUD 1945, berbunyi, "Melindungi segenap bangsa......Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa.....berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."

Keselamatan Masyarakat Rempang

Adagium yang terkenal dari seorang Filsuf bernama Tullius Cicero "Kesehatan kesejahteraan, kebaikan, keselamatan, kebahagiaan rakyat harus menjadi hukum tertinggi." Atau dalam bahasa latin "Salus Populi Suprema Lex Esto". Menjadi kalimat tertua yang hingga saat ini wajib menjadi perhatian khusus bagi setiap penyelenggara negara di dunia.

Kebijakan seharusnya tidak bisa dipaksakan dan tidak boleh menyengsarakan. Apalagi dalam kasus Pulau Rempang, setiap masyarakat dari segala usia mempertahankan tanah kelahiran mereka dan tetap bertahan menolak relokasi. Alasan penolakan dari masyarakat pada dasarnya adalah hal yang wajar, dan biasanya karena tidak adanya komunikasi yang baik dan solusi yang dapat diterima oleh masyarakat.

Keselamatan rakyat bertumpu pada pemerintah saat ini, kewajiban tersebut dituangkan pada UUD 1945 dan menjadi poros sentral agar kebijakan itu mengutamakan perlindungan kepada masyarakat. Hal ini tidak boleh bertentangan dengan amanat konstitusi tersebut.

Apalagi dalam konteks "keselamatan rakyat harus menjadi hukum tertinggi." Konstitusi secara jelas dan konkrit pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945"Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang Undang."

Pengakuan secara internasional juga diakui dan harus dijalankan terhadap perlindungan Masyarakat Adat memiliki hak yang sama terkait penghidupan, pendidikan, mempertahankan identitas, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples 13 September 2007). Namun kelemahan terhadap pengaturan relokasi masyarakat adat dalam dokumen Environmental and Social Standard (ESS) World Bank, jika dilihat satu persatu, tidak membahas cukup gamblang mengenai perlindungan hak masyarakat adat yang terdampak proyek.

Menyadari pengakuan internasional di atas, maka keselamatan masyarakat Pulau Rempang menjadi "beku" dan dikembalikan kepada kebijakan pemerintah terkait dengan investor terkait.

Untuk menghindari konflik yang berkelanjutan maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memberikan solusi yang tepat agar tidak jatuh korban jiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline