Lihat ke Halaman Asli

Dananya ada, uangnya ada, tinggal bagaimana kita mau bekerja tidak...

Diperbarui: 1 Maret 2016   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://4.bp.blogspot.com/-N0HLI3ZPmwU/VWaRqg99UlI/AAAAAAABEhQ/Hzk9ut1dT28/s1600/Jokowi_RI.jpg"][/caption]

Masih ingat kata-kata itu kan. Jawaban dari Jokowi ketika ditanya oleh Prabowo mengenai dana-dana yang akan dia pakai buat merealisasikan janji-janji kampanyenya. Waktu itu di acara Debat Calon Presiden, dan Prabowo menanyakan ‘Pak Jokowi mengatakan akan buat kartu ini, kartu itu, tetapi apakah dananya ada? Memang dananya turun dari langit!’, dan Jokowi-pun menjawab ‘Dananya ada, uangnya ada, tinggal kita mau bekerja apa gak?’

Entah apa yang terlintas dipikiran Jokowi waktu itu, hanya Tuhan dan Jokowi-lah yang tahu. Mungkin ia berpikiran, bahwa jika didalam sebuah rancangan APBN dituliskan bahwa pendapatan adalah Rp. 2.000,- Trilyun misalnya, kemudian dia menganggap uang itu ada didepan mata?

Kenyataannya, setelah menjadi Presiden, dengan mudahnya Jokowi menaikkan harga BBM yang kemudian menghapus sama sekali subsidinya. Itupun ditambah dengan hutang sana-sini, yang mencatat rekor terbesar dalam waktu singkat sebuah rejim kepresidenan. Lalu dimanakah yang disebut ‘Dananya ada, uangnya ada...’.

Seperti halnya anggaran sebuah rumah tangga, demikian jugalah dengan APBN.

Bagi orang yang berkecukupan dan kelas menengah, misalnya seorang karyawan dengan gaji yang lumayan, didalam satu bulan kedepan, untuk pengeluaran-pengeluaran rutin yang akan dihadapinya dalam satu bulan kedepan, dia tidak merasa khawatir, karena sudah tercukupi dari penghasilannya bahkan ia bisa menabung sedikit.

Dalam daftar pengeluarannya, sudah tertulis biaya transportasi, biaya untuk rumah, biaya makan, jalan-jalan, pendidikan, hobi olahraganya, mengirim buat ortu dan kemudian yang perlu disisihkan untuk ditabung. Jika terjadi sesuatu yang mengakibatkan pendapatannya turun drastis, ia masih mempunyai tabungan untuk membiayai pengeluarannya beberapa bulan kedepan.  Ini gambaran kehidupan pekerja kelas menengah.

Orang yang dengan kehidupan yang mapan juga akan berbeda, didalam mengatur anggaran keluarganya. Untuk semua pengeluaran primer dan sekunder telah terpenuhi, bahkan dengan kualitas kehidupan yang lebih baik. Rumahnya berada dikawasan yang baik dan terjaga keamanannya, mobilnya bukan mobil yang umum terlihat di jalan raya, karena mahal dan bergengsi, anak-anaknya sekolah ditempat yang mahal. Makan dan berliburpun juga harus mengeluarkan kocek yang lebih dalam, karena memang tempatnya memang mewah. Itupun penghasilannya masih berlebih, dan kemudian dia menyimpannya di Bank, yang oleh Bank dicatat sebagai customer Prioritas, Platinum, Gold atau apapun namanya.  

Angan-angan orang dengan kemampuan beli yang tinggi  juga lebih panjang. Dia ingin investasi disegala macam. Yang berteman dengan diapun juga banyak dan menawarin kerjasama. Jangankan untuk pengeluaran satu bulan kedepan, untuk pengeluaran bertahun-tahun kedepan pun bisa ia cukupi. Ada ungkapan, tidak akan habis dimakan oleh tujuh turunan.

Lalu bagaimana dengan keluarga yang pas-pasan? Katakanlah buruh pabrik dengan upah setara UMR. Karena pendapatan yang setara UMR, otomatis dia tidak bisa ngapa-ngapain. Didalam komponen UMR, semua detil biaya seperti transportasi, makan, pendidikan, komunikasi, kesehatan dibuat dalam dana minimum. Artinya, apabila ada goncangan sedikit saja, ya harus cari tambahan dana untuk menutupi kekurangannya. Cari tambahan dana, artinya bekerja lagi ekstra keras, ngais-ngais kira-kira apa yang bisa dijadikan uang. Kalo tenaganya masih kuat dan masih punya waktu, ia akan jualan sebisanya atau misalnya ngojek. Kalopun jualan dan ngojek juga gak bisa nutupin, ya kadang harus jual propertinya, motor yang sudah butut dijual, sawah warisan orang tua dijual dan lainnya. Dan kadang hal itu juga masih tidak mencukupi, ya terpaksa harus cari utangan ke orang lain.

Orang lainpun yang mau ngasih utang ke dia-nya juga masih mikir-mikir. ‘Nih orang kalau saya kasih utangan kuat bayar gak ya?!?’. Karena itu ‘privacy’ orang pas-pasaan diobrak-abrik, istilah kerennya diaudit, dinilai oleh calon pemberi utang. Ditanyain, penghasilannya berapa, property apa yang masih dimiliki, pengeluarannya untuk apa saja, kira-kira aman gak ditempat kerjanya yang jadi sumber penghasilannya, bagaimana keluarganya. Masih disuruh juga ngelengkapin data-data pendukung seperti sertifikat tanah, BPKB motor kalo ada, bahkan kadang tagihan PBB dan rekening listrik juga diajukan. Setelah itu baru diputusin kalo dia dikasih utang dengan jumlah tertentu yang ada itung-itungannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline