Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Sikap Kita Biadab terhadap Anak-anak

Diperbarui: 30 Januari 2019   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada beberapa kesempatan belajar bersama masyarakat peduli anak di berbagai wilayah Indonesia, saya kerap melontarkan pertanyaan apakah para peserta memiliki lahan pertanian atau setidaknya pernah melihat proses pengerjaan lahan, terutama proses membajak sawah secara tradisional yang masih menggunakan tenaga hewan: kerbau. Atau alat transportasi tradisional utamanya untuk urusan angkut-angkut hasil pertanian atau barang atau penumpang yakni gerobak atau delman/andong yang menggunakan tenaga hewan: Sapi atau kuda. Sebagian besar pernah melihat dan sebagian lagi pernah memanfaatkan.

Jika para peserta berasal dari suku Jawa, akan lebih menarik, karena selanjutnya saya akan menanyakan kepada peserta, tentang sebutan dari anak-anak hewan. Di Jawa, anak hewan berbeda sebutannya dengan yang sudah dewasa. Saya tidak tahu apakah ada daerah lain yang memiliki sebutan berbeda. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa: anak buaya disebut krete, anak kijang disebut plencing, anak ayam disebut kutuk, anak bebek disebut meri, anak kambing disebut cempe, anak kerbau disebut gudel, anak sapi disebut pedhet, dan anak kuda disebut belo.

Selanjutnya pertanyaan yang dilontarkan dalam kaitan yang pertama: apakah Bapak/Ibu sekalian pernah melihat gudel membajak sawah? Atau pedhet menarik gerobak, atau belo menarik delman/andong? Seluruhnya menjawab belum pernah menyaksikan hal tersebut. Lalu ditanyakan kembali, kenapa? Secara spontan para peserta akan menjawab karena hewan-hewan tersebut masih anak-anak.

"Lha, masalahnya apa kalau masih anak-anak? Bukankah mereka hewan?" maka meluncurlah berbagai alasan yang mendasari dan umumnya menyatakan karena masih anak-anak, maka tenaganya masih lemah atau tidak kuat.

"Jika saya petani, lalu menggunakan gudel untuk membajak sawah, bagaimana pandangan Bapak/Ibu sekalian?" Biasanya jawaban diberikan secara tidak langsung, misalnya "Ya, nggak mungkinlah,". Ketika mencoba meyakinkan bahwa saya benar-benar memanfaatkan gudel untuk membajak sawah, kebiasaan pula yang saya lihat, mereka akan senyum-senyum sendiri. "Nah, pasti Bapak/Ibu akan mengatakan saya edan/gila, bukan?" Tawa pecah, seakan jawaban di kepala yang tertahan sudah terwakili.

"Jadi, jika seorang petani, benar-benar menggunakan gudel untuk membajak sawah, maka kita semua di sini pastilah akan menyatakan petani itu gila, bukan? Begitu, ya..?" Para peserta mengamini.    

Lantas, mengapa kita membiarkan adanya anak-anak yang sudah bekerja baik itu anak kita sendiri ataupun anak-anak tetangga kita dan tidak pernah mengatakan bahwa orang yang menggunakan jasa anak-anak atau orang yang memetik keuntungan dari jasa anak sebagai orang gila? Dan kita membiarkan anak-anak yang terpaksa bekerja, bukan sebagai persoalan yang harus diatasi. 

Biasanya, suasana akan hening sesaat. Dan saya akan membiarkannya sampai ada yang memberikan reaksi.

Yogyakarta 30 Januari 2019

 Catatan: 

Model itu, terinspirasi dari pernyataan seorang aktivis anak dari India, Chaturvedi, tentang pekerja anak kira-kira menyatakan bahwa tidak ada seorang petani-pun yang mempekerjakan hewan yang masih anak-anak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline