Lihat ke Halaman Asli

Odi Shalahuddin

TERVERIFIKASI

Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

(Sekadar Catatan II) Dinamika Teater di Bogor Tahun 1950-1980-an

Diperbarui: 25 Januari 2019   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

D. Djajakusuma selaku Ketua Musyawarah Teater Nasional memberikan sambutan (Majalah Minggu Pagi, Nomor 38 Thn XV, 16/12/61)

Di antara keseluruhan grup yang ada, PPSI atau Teater Bogor-lah yang paling aktif melakukan pementasan pada periode 1950-an. Setidaknya lebih dari 30 produksi pementasan yang mereka lakukan. Pada jumlah produksi, Teater Bogor ini dinilai paling produktif untuk ukuran grup teater di Indonesia pada masa itu.

Wirawan Respati (Aneka,edisi 36 Tahun ke VII, 20 Pebruari 1958) menyoroti dinamika teater di daerah yang pernah dikunjungi dan menyaksikan pementasan-pementasan di kota tersebut. Daerah tersebut adalah Singaradja, Solo, Yogya, Surabaya, Bogor dan Jakarta sendiri. 

Ia menyampaikan kegiatan di luar kota Jakarta, dengan catatan yang dikemukakan bahwa tanpa pengertian Jakarta sudah serba sempurna, pusat serba baik. Bahkan hendak dirupakan sebagai penyingkapan, bahwa di daerah-daerah banyak dilancarkan kegiatan-kegiatan yang lebih menggembirakan, lepas dari beberapa kegiatan-kegiatan yang masih dilancarkan secara kurang bersungguhan di sana-sini.

Tentang teater di kota  Bogor, ia menuliskan pandangannya: "Sudah sejak 1952 Bogor mempunyai sebuah himpunan amatir yang diberi nama Teater Penggemar Bogor. Kata orang nama itu ditasbihkan oleh Drs. Asrul Sani, penyair/pengarang dan dramawan Indonesia dan serentak juga seorang dokter hewan itu. Himpunan amatir ini -- disamping himpunan-himpunan lainnya -- banyak memanggungkan sandiwara daerah, Indonesia dan saduran. 

Sejak Oktober 1957 yang kebetulan saya saksikan adalah "Maghrib" karangan Hasan Basri, "Keluarga Raden Sastro" karangan Achdiat, dan "Hantu Sang Tumenggung" yang kebetulan saya sutradarai sendiri dan yang ke atas panggung ditemani dengan "Sebuah Dunia" sebuah komedi karangan Endang Achmadi seorang dramawan kota Bogor."

"Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa seperti di kota-kota lain, Bogor telah terbiasa dengan pemanggungan-pemanggungan tanpa persiapan yang longgar. Ini biasa pula disandarkan atas sifat amatir mereka. 

Saya kira -- tanpa dikhususkan pada Bogor -- kebiasaan terlalu "yakin" bahwa pemanggungan-pemanggungan dareah itu hanya amatir-amatiran sekedar bisa diikuti jalan ceritanya dengan banyak kekurangan di dalam pengisian interpretasi, perawatan dalam latihan-latihan dan penempatan teknisnya, maka kegiatan-kegiatan drama panggung kita akan tetap tidak pernah menjadi baik. Kalau ada diambil ukuran di sini, maka saya cenderung pada Jogja dan Solo, karena Jakarta dengan Akademi Teaternya memang terlalu akademis. 

Coba saja hal ini saudara cocokkan dengan eksperimen-eksperimen arena-teater, Akademi Teater itu. Saya tidak menolak eksperimen-eksperimen macam itu, bahkan saya kira itu baik sekali. Tetapi drama panggung-ordiner itu saja belum berkembang dengan baik, di daerah-daerah. Hingga timbul kekhawatiran saya, kalau-kalau akan ada dicoba menyelenggarakan suatu pemanggungan arena di Pontianak misalnya, di mana pemanggungan biasa masih agak sulit dan terlalu dirasa banyak komplikasiitu."

Tulisan Wirawan Respati itu mendapatkan tanggapan dari pegiat teater di Bogor, yakni Semiadji  (Aneka Nomor 2 Tahun IX, 10 Maret 1958). Dikatakannya: Kawan, pembicaraan kita yang menyentuh soal sandiwara ini, ada yang hendak aku catat, yaitu mengenai: "Kegiatan drama panggung di daerah". Tentu saudara masih ingat tulisan saudara yang mengenai usaha untuk mencari mana yang patut dijadikan ukuran dalam kegiatan drama panggung di daerah-daerah. 

Diantara daerah yang menjadi basis untuk dijadikan ukuran dari kegiatan seni dramanya -- yang sebenarnya kesimpulan dan jawabannya saudara kemukakan sendiri -- tampil enam daerah. Satu diantaranya saudara sisihkan sendiri, yaitu Jakarta, dengan alasan-alasan yang kabur dan kemudian saudara tempatkan pada kesimpulan saudara -- sebagai hasil analisa yang terlalu dangkal -- dua daerah mana saudara cenderung untuk dijadikan ukuran dari kegiatan seni panggung di daerah. Mungkin kesimpulan saudara ini benar, tapi masih sangat diragukan kebenarannya. Hal ini akan jelas bagi orang-orang yang tidak atau kurang begitu mengetahui tentang kegiatan seni drama di daerah yang dijadikan basis dalam mencari ukuran tersebut. Kesemuanya ini disebabkan oleh penjelasan-penjelasan saudara yang terlalu berat sebelah. Timbullah ketidakseimbangan ini adalah akibat langsung dari kekurangsempurnaan penyelidikan saudara sendiri dari daerah-daerah yang dijadikan kandidat dalam usaha mencari ukuran itu..

Lebih lanjut dikatakannya tentang pandangan terhadap kota Bogor: "Apa yang dapat ditarik kesimpulan dari keadaan ini -- yang lahirnya dari keadaan yang sifatnya kebetulan -- ialah saudara sebagai orang Solo dan yang pernah tinggal lama di Jogja jadi lebih banyak mengetahui tentang pertumbuhan seni drama di sana. Sebaliknya aku juga sekurang-kurangnya mengetahui perkembangan seni drama di Bogor lebih dari apa yang pernah saudara tulis sebagai bahan dalam mencari ukuran kegiatan drama panggung daerah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline